kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dinilai Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Selasa, 20 September 2022 / 16:13 WIB
Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dinilai Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Perkebunan kelapa sawit PT Pradiksi Gunatama Tbk (PGUN) di Kalimantan Timur. Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dinilai Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Dan hal ini berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mendesak Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan untuk segera melakukan penghapusan DMO dan DPO minyak sawit/CPO. 

Menurut  Gulat, kebijakan DMO dan DPO merupakan salah satu penyebab hancurnya harga tandah buah segar (TBS) sawit petani. Sehingga menurutnya Mendag tak perlu ragu dan berpikir lebih lama untuk penghapusan DMO dan DPO ini. 

"Dengan dihapusnya DMO dan DPO, ke depannya cukup menggunakan instrument BK dan PE," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (20/9).

Baca Juga: Rekomendasi Ombudsman Serahkan Mekanisme Pasar

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menegaskan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah selain sulit dijalankan juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi. 

Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO juga menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.   

Tungkot juga menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara PE dan BK. Kebijakan ini lebih menjamin  hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.  

Baca Juga: BPDPKS Dukung Perpanjangan Pembebasan Tarif Pungutan Ekspor CPO

"Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa  baru diturunkan pelan-pelan," katanya.  

Sementara itu, Praktisi Hukum Dr Sadino, mengatakan langkah pemerintah melarang ekspor CPO demi mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dinilai sebagai kebijakan yang kurang tepat. 

Pasalnya, penerapan DMO dan DPO bukan hanya menyulitkan pengusaha sawit, namun juga merugikan petani kelapa sawit.

“Bayangkan berapa banyak TBS petani yang tidak terbeli pabrik kelapa sawit (PKS) akibat kebijakan DMO dan DPO. Banyak PKS tidak mau membeli TBS petani dengan alasan, penuhnya tangki timbun karena tidak adanya ekspor. Tentu ini sangat merugikan petani,” kata Sadino. 

Selain itu, tambah Sadino, gonta-ganti kebijakan terkait DMO dan DPO tentu tidak menguntungkan bagi dunia usaha yang membutuhkan kepastian dalam berusaha.

Baca Juga: 5 Terdakwa Kasus Izin Ekspor CPO Didakwa Rugikan Negara Rp 18,35 Triliun

Sebelumnya, akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengatakan, dampak dari diberlakukannya DMO dan DPO adalah turunnya ekspor produk sawit secara signifikan dan petani sawit mengalami kesulitan menjual tandan buah segar (TBS). Kebijakan ini berisiko karena pemerintah tak memiliki kajian yang lengkap.

Ketua Tim Peneliti LPEM UI ini menambahkan, pemerintah, sebenarnya dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor (PE)dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor Crude Palm Oil (CPO).  

Dalam penelitian LPEM UI 2022, Eugenia mengungkapkan penghentian ekspor 28 April – 22 Mei 2022 telah menurunkan Product Domestic Bruto (PDB) pada kuartal II 2022 sebesar 3%.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×