Reporter: Handoyo | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Kebijakan India memberlakukan pajak impor minyak nabati seperti crude palm oil (CPO) dan soybean sebesar 2,5% turut menekan ekspor CPO Indonesia ke Negeri Bollywood tersebut. Apalagi di saat yang sama, produk CPO kita juga kalah bersaing dengan Malaysia. Ini lantaran Malaysia menerapkan pajak ekspor CPO lebih rendah ketimbang Indonesia.
"Meski demikian, hal sebaliknya terjadi pada produk hilir CPO yang berpotensi mengalami kenaikan," ungkap Sahat Sinaga, Ketua Umum Gabungan
Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Efisiensi biaya operasional pada produk hilir menjadi kekuatan Indonesia untuk tetap melakukan ekspor meski India menerapkan pajak impor sebesar 7,5% untuk produk turunan CPO.
Berdasarkan data GIMNI, produksi dari industri olahan (refinery) Indonesia terus menunjukkan peningkatan signifikan. Sebagai perbandingan, selama 2011 lalu kapasitas produksi refinery di dalam negeri hanya seberat 20,6 juta ton per tahun. Kemudian sepanjang 2012 produksinya meningkat 21,36% menjadi sekitar 25 juta ton.
Di tahun ini, kapasitas terpasang industri refinery Indonesia diproyeksikan kembali bertambah hingga menjadi 30 juta ton. "Tahun lalu, utilisasinya sudah mencapai 85% dari total kapasitas terpasang," ujar Sahat.
Pesatnya perkembangan industri hilir CPO di dalam negeri menyebabkan biaya produksi menjadi semakin murah. Dengan demikian, kebijakan India
menerapkan pajak impor untuk produk turunan CPO tidak terlalu berdampak signifikan bagi industri olahan CPO Indonesia.
Selama ini India menjadi salah satu pangsa pasar terbesar untuk penjualan minyak sawit mentah asal Indonesia. Volume ekspor CPO Indonesia setidaknya rata-rata mencapai 5 juta hingga 6 juta ton setiap tahun.
Sekadar informasi, langkah pemerintah India memberlakukan pajak impor untuk pertama kalinya sejak 2008 tersebut adalah untuk melindungi
produsen minyak nabati lokal. Seperti diketahui, sejak pertengahan tahun lalu, harga CPO di pasar internasional terus mengalami penurunan. Dengan penurunan harga CPO tersebut otomatis bahan baku refinery menjadi lebih murah dibandingkan lokal.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan beleid yang diterapkan oleh pemerintah India tersebut merupakan kebijakan terbalik
dari pemerintah Indonesia. Bila Indonesia menerapkan bea keluar, maka India memberlakukan bea masuk.
Terkait kebijakan pemerintah India tersebut, Bayu mengemukakan hingga saat ini pemerintah masih tetap konsisten terhadap penerapan kebijakan pajak progresif yang sudah berlaku. Kebijakan yang telah dilakukan telah berhasil menggairahkan program hilirisasi serta mendatangkan investasi ke dalam negeri.
Menurut Bayu, pajak ekspor atas produk CPO telah mempertimbangkan prospek jangka panjang industri sawit di Indonesia. Dengan produksi CPO
yang terus meningkat di tengah lesunya permintaan ekspor, maka pemanfaatan CPO sebagai bahan baku biofuel perlu terus dipacu dan dikembangkan.
Pemerintah Indonesia menetapkan bea keluar CPO selama Januari 2013 sebesar 7,5% dan pada Februari 2013 meningkat menjadi 9%. Sedangkan
Malaysia mulai Januari tahun ini memangkas pajak progresif atas CPO menjadi 4,5% hingga 8,5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News