Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mewajibkan perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) untuk menggunakan cara pembayaran letter of credit (L/C). Lalu, mengembalikan sepenuhnya ke dalam negeri hasil penjualan ekspor minerba melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri.
Kewajiban itu tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018 yang ditanda tangani Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 5 September, serta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 102 Tahun 2018 yang diteken Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada 28 September 2018.
Kementerian ESDM bahkan memberikan ancaman berupa sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi kewajiban tersebut. Sanksinya mulai dari peringatan atau teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha, pencabutan rekomendasi persetujuan ekspor mineral, serta penyesuaian rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pada tahun berikutnya.
Namun, menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, tidak ada perusahaan minerba yang akan dikenakan sanksi. Sebabnya, Bambang bilang, tingkat kepatuhan perusahaan minerba dalam mengikuti kewajiban tersebut telah 100%.
Kendati demikian, Bambang mengaku tidak tahu soal berapa dampak dari kewajiban tersebut. “Iya udah (100%), semuanya. Nggak ada (yang dikenai sanksi). Nilainya saya nggak hafal,” kata Bambang pekan lalu.
Kepada Kontan.co.id, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan, ada peraturan dalam tata niaga ekspor produk tambang, baik yang berupa mineral logam maupun batubara. Salah satu instrumen pengaturannya adalah kewajiban verifikasi dan penelusuran teknis oleh lembaga Surveyor yang ditetapkan Menteri Perdagangan.
Soal mekanismenya, Oke menjelaskan, surveyor akan melakukan pemeriksaan atau perhitungan fisik barang dan administrasi ekspor, termasuk dokumen pemenuhan kewajiban penggunaan L/C. Selanjutnya, Surveyor akan mengeluarkan Laporan Surveyor (LS) yang merupakan dokumen pelengkap kepabeanan ekspor, yang juga akan dilaporkan ke Menteri Perdagangan.
“Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir 100% eksportir telah mematuhi kebijakan L/C ini karena jika tidak, produk dan komoditi tersebut tidak dapat diekspor,” kata Oke.
Lebih lanjut, tambah Oke, untuk mendukung peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE), selain kebijakan wajib L/C, ada juga Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Berdasarkan PBI, eksportir diwajibkan untuk menerima DHE melalui Bank Devisa di dalam negeri (BDDN). “Berdasarkan hasil kajian BI, diketahui bahwa tingkat kepatuhan eksportir untuk memasukan DHE ke BDDN sudah mencapai lebih 90%” ungkap Oke.
Namun, Oke mengatakan, dari sekian banyak DHE yang diterima di BDDN, sebagian besar tercatat ditransfer kembali ke luar negeri dan tidak di simpan di BDDN dalam waktu yang cukup lama. Alhasil, mekanisme ini belum signifikan dalam meningkatkan devisa negara.
Bahkan menurut Oke, merujuk pada catatan BI, konversi devisa ke rupiah pun masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 15%. “Sehingga saat ini masih belum efektif menambah pasokan valas di dalam negeri” imbuh Oke.
Sementara, menurut pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra P.G. Talattof, masih rendahnya tingkat konversi ke rupiah, bisa dilihat sebagai bentuk kekhawatiran pengusaha dengan mempertimbangkan resiko jika menyimpan rupiah dalam jumlah yang besar. Hal ini terkait dengan fluktuasi yang rentan serta pertimbangan investasi ke depan yang masih mengandalkan dollar Amerika Serikat.
“Karena secara general, pengusaha kita juga butuh (dollar) untuk berbagai kebutuhan, misalnya impor bahan baku. Fluktuasi rupiah juga dianggap rentan dan beresiko,” kata Abra saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (4/11).
Lebih lanjut, Direktur Keuangan ABM Investama Adrian Erlangga mengungkapkan, wajar saja jika perusahaan tidak sepenuhnya mengkonversi kepada rupiah. Sebabnya, memang ada sejumlah kebutuhan atau kewajiban tertentu yang harus dipenuhi dalam bentuk valuta asing, sehingga cadangannya harus terjaga untuk menjaga neraca perusahaan.
Kendati demikian, Adrian menyebut bahwa pihaknya telah menjalankan sesuai aturan, yakni dengan 100% DHE yang langsung dikembalikan ke dalam negeri. Ia bahkan menyebut, tanpa ada aturan tersebut pun, ABM sudah membawa semua hasil ekspor ke dalam negeri.
“Semua DHE kami 100% langsung kembali ke dalam negeri sehingga tidak ada yang kami sisakan di luar negeri. Hanya porsi pembayaran utang yang kami sisakan dalam valuta asing karena biaya kami seluruhnya dalam negeri dan dalam Rupiah,” papar Adrian.
Dalam hal ini, Abra mengungkapkan, untuk mendorong konversi ke rupiah, pemerintah bisa melakukannya secara bertahap. “Misal, sekian persen per tahun dari hasil ekspor harus dikonversi ke rupiah. Persentase setiap tahunnya meningkat, karena pemerintah memang tidak bisa memaksa sekaligus,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia pun menyebut bahwa sektor minerba, khususnya batubara, sangat potensial untuk mengkonversi ke rupiah. Hal ini mengingat bahan baku atau sumber daya yang berasal dari dalam negeri, serta tingkat impor yang relatif rendah.
“Minerba itu paling potensial untuk mengkonversi ke rupiah. Apalagi seperti batubara karena sumber dayanya dikeruk dari Indonesia dan kecil impornya. Paling tidak di atas 50% harusnya bisa dikonvesi ke rupiah,” imbuhnya.
Selain itu, Abra menekankan pentingnya memberikan insentif fiskal yang menarik dan juga bunga yang kompetitif. Tujuannya tak lain supaya para pengusaha menjadi lebih tertarik untuk menyimpan di dalam negeri dan mengkonversi menjadi rupiah.
Adapun, menurut Oke, pemerintah dan BI saat ini memang tidak bisa memaksa pelaku usaha untuk menahan devisa di dalam negeri. Sebab, hal itu bisa bertentangan dengan rezim devisa bebas yang di anut Indonesia melalui UU No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa yang mengamanatkan bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.
“Menyikapi hal-hal tersebut, saat ini Pemerintah bersama BI juga sedang menggodok suatu kebijakan yang akan memberikan insentif bagi eksportir Indonesia yang menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News