Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
“Semua DHE kami 100% langsung kembali ke dalam negeri sehingga tidak ada yang kami sisakan di luar negeri. Hanya porsi pembayaran utang yang kami sisakan dalam valuta asing karena biaya kami seluruhnya dalam negeri dan dalam Rupiah,” papar Adrian.
Dalam hal ini, Abra mengungkapkan, untuk mendorong konversi ke rupiah, pemerintah bisa melakukannya secara bertahap. “Misal, sekian persen per tahun dari hasil ekspor harus dikonversi ke rupiah. Persentase setiap tahunnya meningkat, karena pemerintah memang tidak bisa memaksa sekaligus,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia pun menyebut bahwa sektor minerba, khususnya batubara, sangat potensial untuk mengkonversi ke rupiah. Hal ini mengingat bahan baku atau sumber daya yang berasal dari dalam negeri, serta tingkat impor yang relatif rendah.
“Minerba itu paling potensial untuk mengkonversi ke rupiah. Apalagi seperti batubara karena sumber dayanya dikeruk dari Indonesia dan kecil impornya. Paling tidak di atas 50% harusnya bisa dikonvesi ke rupiah,” imbuhnya.
Selain itu, Abra menekankan pentingnya memberikan insentif fiskal yang menarik dan juga bunga yang kompetitif. Tujuannya tak lain supaya para pengusaha menjadi lebih tertarik untuk menyimpan di dalam negeri dan mengkonversi menjadi rupiah.
Adapun, menurut Oke, pemerintah dan BI saat ini memang tidak bisa memaksa pelaku usaha untuk menahan devisa di dalam negeri. Sebab, hal itu bisa bertentangan dengan rezim devisa bebas yang di anut Indonesia melalui UU No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa yang mengamanatkan bahwa setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa.
“Menyikapi hal-hal tersebut, saat ini Pemerintah bersama BI juga sedang menggodok suatu kebijakan yang akan memberikan insentif bagi eksportir Indonesia yang menyimpan devisa hasil ekspornya di dalam negeri,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News