Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkembangan teknologi pengawasan digital kembali menjadi perhatian global. Terbaru, meningkatnya penggunaan mercenary spyware.
Ini adalah perangkat mata-mata digital berbayar—yang menargetkan jurnalis, aktivis, pengacara, hingga kelompok oposisi di berbagai negara. Temuan ini menandai bergesernya kapabilitas siber kelas negara menjadi komoditas yang dapat diakses aktor non-negara.
PT Itsec Asia Tbk (CYBR) menilai penguatan ketahanan siber nasional menjadi kebutuhan mendesak. Seiring meningkatnya risiko serangan tingkat lanjut yang berpotensi berdampak pada keamanan data, privasi, dan stabilitas institusi.
“Arsitektur serangan saat ini telah bergerak jauh melampaui malware konvensional. Ancaman ini dirancang secara terencana, berkelanjutan, dan tertanam di seluruh rantai nilai digital,” ujar Marek Bialoglowy, Chief Technology Officer PT Itsec Asia Tbk.
Menurut Marek, Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Pasifik tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan reaktif. “Indonesia membutuhkan kapabilitas pertahanan yang mampu mengantisipasi dan mengelola risiko secara berkelanjutan, bukan sekadar merespons setelah insiden terjadi,” katanya.
Baca Juga: ITSEC Asia (CYBR) Perluas Sayap ke Timur Tengah–Afrika, Umumkan Summit Siber 2026
Pola target mercenary spyware kini tidak lagi terbatas pada pejabat tinggi negara. Jurnalis investigasi, pembela hak asasi manusia, profesional hukum, hingga organisasi masyarakat sipil juga masuk dalam kelompok berisiko. Hal ini menimbulkan implikasi yang lebih luas, termasuk terhadap demokrasi dan kepercayaan publik.
Dari sisi tata kelola, laporan internasional juga menyoroti kekhawatiran terkait akuntabilitas vendor spyware komersial. Dalam sejumlah kasus, vendor diduga masih memiliki akses atau visibilitas terhadap sistem pelanggan, memunculkan risiko kedaulatan data dan potensi penyalahgunaan lintas negara.
“Jika aktor mercenary spyware mampu beroperasi lintas yurisdiksi dan menargetkan kelompok sensitif di berbagai negara, tidak ada alasan untuk menganggap Indonesia sepenuhnya aman dari ancaman serupa,” ujar Marek.
Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah, regulator, operator telekomunikasi, hingga sektor infrastruktur kritis dan media. Tujuannya untuk membangun ekosistem keamanan siber yang lebih tangguh.
Menurutnya, perlindungan digital tidak lagi sekadar isu teknis, melainkan bagian dari upaya menjaga kepercayaan publik dan daya saing ekonomi digital nasional.
Selanjutnya: Per September 2025, Laba Bersih Solusi Sinergi Digital (WIFI) Melesat Double Digit
Menarik Dibaca: 9 Rekomendasi Minuman Penurun Kolesterol Jahat Alami yang Layak Dicoba
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













