Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Nasib televisi digital masih terkatung-katung akibat pembekuan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) sejak 22 September 2015. Semenjak keluar Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4/2015, seluruh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) televisi digital terpaksa tidak bisa meneruskan kegiatan operasi.
Surat edaran tersebut muncul setelah Kominfo kalah dalam persidangan melawan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam sidang tersebut, ATVJI menggugat Peraturan Menteri Kominfo Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksi Melalui Sistem Terestrial. ATVJI menilai Permen tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurut Kalamullah Ramli, Direktur Jenderal Pos dan Penyelenggaraan Informatika Kominfo, ada lebih dari 100 TV digital yang izinnya dibekukan saat ini. "Mereka saat ini tidak bisa beroperasi dan sudah pasti rugi karena sudah berinvestasi tapi tidak bisa siaran," kata Kalamullah kepada KONTAN di komplek DPR, Kamis (28/1).
Selain menyia-nyiakan dana investasi, pebisnis televisi digital masih wajib membayar Biaya Hak Penggunaan (BPH) Frekuensi Radio kepada Kominfo setiap tahun. Sudah begitu, apabila ada televisi digital tersebut yang beroperasi, pemerintah bakal memberikan sanksi.
Salah satu yang bisa menghidupkan televisi digital adalah jika Mahkamah Agung mengabulkan kasasi mereka. Pilihan lain, menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran Baru pada semester satu tahun ini.
Menurut Menteri Kominfo Rudiantara, pemerintah saat ini masih menunggu hasil kasasi terlebih dahulu. Ia membenarkan bila pebisnis televisi digital sudah membayar iuran frekuensi meski tidak besar. "Kami tunggu hasil pengadilan di Mahkamah Agung dulu," kata Rudiantara.
Ketua ATVJI Bambang Santoso menyebut pihaknya terpaksa menggugat pemerintah karena Permen 32/2013 dinilai merugikan pemilik stasiun televisi eksisting.
Misalnya, perusahaan televisi digital ini sudah mengeluarkan dana investasi untuk mengembangkan bisnis tersebut. Hal lain adalah sudah membayar iuran frekuensi. Sayang, Bambang tidak merinci besaran iuran frekuensi tersebut. "Seharusnya kami dapat ganti rugi setelah kembalikan frekuensi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News