Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berencana mengembangkan pembangkit listrik panas bumi sebesar 1.000 MW hingga tahun 2014.
Abadi Purnomo, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy menyebut, dengan asumsi dasar investasi panas bumi US$ 3 juta per 1 MW, maka untuk mengembangkan 1.000 MW dibutuhkan US$ 3 miliar, dimana harga jual listrik panas bumi yang ideal berada pada angka US$ 9 per kWh.
Sayangnya, harga listrik ataupun uap panas bumi setiap lapangan sangat tergantung pada struktur produksi masing-masing wilayah, yaitu tingkat kesulitan untuk operasi pengeboran maupun infrastruktur. Dus, jika komponen membutuhkan biaya semakin tinggi, maka harganya semakin mahal.
"Opsi pinjamannya ada banyak, dari JICA, World Bank, KFW dan sebagian lagi dari corporate loan. Tetapi kemungkinan kami akan serahkan sebagian besar ke corporate loan. Sebab, kita membutuhkan waktu satu tahun jika ingin mencari commercial loan. Kami hanya mencari sendiri US$ 800 juta sampai US$ 1 miliar, sisanya corporate loan," kata Abadi, Kamis (13/8).
Abadi merinci, sepanjang tahun, ini belanja modal PGE sebanyak US$ 130 juta. Tujuan utamanya untuk menyiapkan infrastruktur dan melakukan pengeboran wilayah kerja Panas Bumi di Lumut Balai, Ulubelu, dan Sungai Kemuning. "Tahun depan kami memperbanyak sumur sampai 30 sumur, dengan perkiraan belanja modal US$ 250 juta," tambahnya.
Namun, Abadi mengingatkan bahwa persoalan negosiasi harga jual listrik panas bumi antara IPP dengan pembeli tunggal, yaitu PT PLN (Persero) selalu menjadi masalah dalam mengembangkan proyek panas bumi di Indonesia.
"Memang permasalahan tarif perlu dibuat ceiling price karena tidak memungkinkan deal B to B. Karena prinsip produsen mengarah pada economic value. Sementara konsumen pada least cost," ujarnya. Karenanya, pemerintah harus melakukan intervensi pada penetapan ceiling price tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













