Reporter: Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
BANDUNG. Persetujuan revisi pos tarif bea masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241 tahun 2010 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor belum juga diteken oleh Menteri Keuangan. Padahal, targetnya April 2011 revisi peraturan ini sudah bisa berjalan.
Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan, bulan ini ia harapkan sudah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. "Saya sudah bicara lagi dengan Menteri Keuangan, seminggu ini semoga sudah bisa selesai," ujarnya.
Dalam revisi ini, pemerintah bakal membebaskan 190 pos tarif non pangan untuk dibebaskan dari pengenaan bea masuk menjadi 0%. Beberapa pos tarif yang terkena revisi ini diantaranya bahan kimia sebanyak 60 pos tarif, 91 pos tarif untuk permesinan, 17 pos tarif untuk elektronik dan 13 pos tarif untuk industri perkapalan. "Kami pun melakukan revisi untuk menaikkan bea masuk makanan kaleng dari 5% menjadi 10% untuk menahan aliran impor produk ini," katanya.
Revisi ini memang sangat mendesak, seiring tuntutan para pelaku usaha agar daya saing produk lokal bisa meningkat di tengah gempuran produk impor yang kian gencar. Hidayat menjelaskan, beberapa industri yang sensitif terhadap perdagangan bebas seperti ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) terbukti telah mengalami penurunan terhadap performa bisnisnya.
Misalnya, produksi dari industri-industri seperti elektronik, alas kaki, mainan anak, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah mengalami penurunan sekitar 25-50% dalam setahun kebelakang seiring berlakunya perjanjuan ACFTA. Sementara itu, penjualan turun hingga 25% dan pemotongan tenaga kerja sekitar 10% hingga 25%.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menambahkan, penurunan bea masuk pos tarif termasuk untuk industri tekstil ini juga harus diikuti dengan perbaikan kebijakan lainnya seperti fiskal maupun kesiapan infrastruktur. "Kalau biaya operasional tinggi, produsen jadi banyak yang beralih jadi penjual," katanya.
Berkaca dari kondisi industri yang begitu terpukul semenjak diberlakukannya ACFTA, pemerintah mulai berhati-hati untuk menindaklanjuti perdagangan bebas regional yang belum ditandatangani. "Misalnya, Kementerian Perdagangan menunda penandatanganan kerjasama perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia Baru," ujar Hidayat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













