Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mematok target ambisius untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2050 di sektor industri. Kemenperin menyiapkan kebijakan dan skema untuk mendorong pembiayaan hijau hingga aplikasi teknologi yang bisa mengurangi emisi.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan target Net-Zero Emission pada sektor industri lebih cepat satu dekade dibandingkan target nasional pada tahun 2060. Agus mengakui, perlu ada upaya ekstra untuk bisa mencapai target tersebut.
Industri manufaktur dituntut untuk terus tumbuh guna menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Hanya saja, pertumbuhan kinerja sektor pengolahan non-migas ini bakal dibarengi dengan konsekuensi berupa kenaikan emisi.
Agus memberikan gambaran, selama periode 2011 - 2023, emisi di sektor industri naik sekitar dua kali lipat. Sebanyak 73% emisi tersebut bersumber dari peningkatan jumlah energi yang berasal dari bahan bakar fosil.
Baca Juga: Kemenperin Kembangkan Industri Minyak Atsiri, Pacu IKM Hilirisasi Kemenyan
"Bila tidak ada upaya yang tepat, maka dikhawatirkan pada tahun 2050 akan terjadi dua kali lipat lagi emisi yang akan dihasilkan sektor manufaktur. Oleh karena itu, transformasi industri hijau menjadi kebutuhan mutlak untuk keberlanjutan ekonomi secara utuh," ungkap Agus dalam Green Initiative Conference 2025, Kamis (18/9/2025).
Kemenperin pun telah menetapkan sembilan sub sektor industri prioritas untuk mencapai transformasi hijau atau dekarbonisasi. Meliputi industri semen, amonia, logam, pulp & kertas, tekstil, kimia, keramik, makanan & minuman, serta otomotif.
Tak hanya soal lingkungan, Agus mengingatkan bahwa pelaku industri mesti mencapai transformasi hijau lantaran hal ini telah menjadi tuntutan pasar. Tren global semakin mengarah pada green conscious atau pilihan konsumen yang lebih selektif dengan memerhatikan aspek keberlanjutan hingga jejak karbon.
Hanya saja, biaya transformasi hijau yang dinilai mahal masih menjadi tantangan bagi pelaku industri.
"Selama ini ada dikotomi antara biaya atau investasi. Ini yang menjadi pekerjaan rumah dalam transformasi menuju industri hijau. Sebetulnya ini bukan biaya, tapi investasi yang akan menguntungkan dalam jangka menengah apaalagi jangka panjang," terang Agus.
Skema Gisco
Agus mengamini, pemerintah memegang peranan penting untuk menjawab tantangan tersebut, supaya proses dekarbonisasi tidak membebani para pelaku industri. Salah satu upaya Kemenperin adalah dengan mengusung konsep Green Industry Service Company (Gisco).
Gisco bakal menjadi jembatan antara pelaku industri, penyedia teknologi hijau, penyedia dana, serta pemerintah. Agus optimistis Gisco bakal menjadi game changer, motor penggerak ekosistem industri hijau nasional yang terhubung dengan standar-standar internasional.
"Di dalam Gisco ini industri akan memperoleh pelayanan terpadu seperti pendampingan teknis, asesmen efisiensi sumber daya, penghitungan jejak karbon, rencana transisi hijau hingga fasilitasi pembiayaan hijau," terang Agus.
Menurut Agus, Kemenperin telah melakukan pembicaraan dan mengantongi restu dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) hingga Bank Dunia (World Bank) untuk menerapkan Gisco. Agus bilang, Bank Dunia bahkan telah berkomitmen untuk terlibat dalam pembiyaan Gisco.
Baca Juga: Kemenperin Gelar Industrial Festival 2025, Sasar Gen Z dan Milenial di Industri
"Nanti ini dibiayai oleh World Bank, jadi bagian dari program World Bank Indonesia melalui soft loan dan juga grant. Sudah disetujui oleh World Bank dan Bappenas. Jadi ketika nanti sudah masuk blue book, baru bisa kami eksekusi dan bentuk vehicle-nya yang merupakan implementasi dari Gisco," jelas Agus.
Agus menargetkan cetak biru terkait Gisco bisa rampung pada tahun ini. Dia bilang, pemerintah dan World Bank berkomitmen untuk mempercepat proses administrasi, sehingga Gisco sudah bisa diluncurkan pada semester II-2026.
Aplikasi Teknologi CCU
Secara bersamaan, Agus menegaskan perlunya mendorong penggunaan teknologi yang bisa mereduksi emisi dalam proses produksi di industri manufaktur. Saat ini, Kemenperin bersama Petrokimia Gresik menggelar proyek uji coba (pilot project) pemakaian teknologi penangkapan dan pemanfaatan karbon alias Carbon Capture and Utilization (CCU).
Dalam pilot project ini Kemenperin dan Petrokimia Gresik menggandeng perusahaan asal Taiwan, Uwin Resource Regeneration Inc. Agus bilang, pilot project ini dijadwalkan berlangsung selama enam bulan.
Setelah berlangsung sekitar empat bulan, Agus mengklaim bahwa penggunaan CCU di pabrik Petrokimia Gresik telah mengurangi emisi sekitar 65%. Pilot project CCU juga memangkas polusi udara hingga 70%-80%.
Baca Juga: Kemenperin Buka Suara Soal Badai PHK, Singgung Residu Kebijakan Relaksasi Impor
Selain itu, teknologi ini juga dapat menghasilkan produk samping berupa soda ash dan caustic soda, yang selama ini masih banyak dipenuhi secara impor.
"Kalau regulatory framework-nya kami siapkan, mewajibkan para pelaku industri untuk menerapkan CCU, bisa dibayangkan berapa besar produk soda ash dan caustic soda yang bisa diproduksi menjadi substitusi impor," ungkap Agus.
Agus bilang, Kemenperin akan terlebih dulu menunggu hasil pilot project tersebut. Kemenperin terbuka dengan teknologi dari berbagai negara, sehingga pelaku industri bisa memiliki banyak pilihan untuk mengaplikasikan CCU dengan biaya yang lebih murah.
"Benchmark (CCU dari perusahaan Taiwan bisa mengurangi emisi) 65% dengan harga yang relatif murah. Harapan kami perusahaan-perusahaan yang menyediakan teknologi CCU bisa bersaing dalam harga maupun level penurunan emisi. Nanti tidak ada narasi lagi transformasi industri hijau perlu investasi yang tinggi," tandas Agus.
Selanjutnya: PIlihan Investasi Makin Beragam, Simak Strategi Bank Raya Tingkatkan Pertumbuhan DPK
Menarik Dibaca: Cara Buat Foto di Lift Pakai Prompt Gemini AI! Ada Kumpulan Prompt Lainnya juga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News