Reporter: Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satgas Energi BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menilai pengembangan bioenergi nasional membutuhkan terobosan di sisi pembiayaan agar proyek-proyek energi berbasis biomassa dapat tumbuh berkelanjutan dan bankable.
Kasatgas Energi BPP HIPMI, Jay Singgih, mengatakan tantangan utama bioenergi saat ini bukan pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada struktur pendanaan yang belum sepenuhnya mendukung skala industri.
Padahal, Indonesia memiliki potensi biomassa besar, mulai dari limbah pertanian, residu kelapa sawit, hingga bahan organik yang dapat dikembangkan menjadi biofuel, biogas, maupun biomassa untuk co-firing pembangkit listrik.
Baca Juga: Asosiasi Pengusaha di Industri Padat Karya Menyoroti UMP 2026, Begini Catatannya
“Transisi energi tidak hanya soal teknologi, tetapi perubahan cara berinvestasi. Tanpa skema pembiayaan yang tepat, potensi bioenergi akan sulit dioptimalkan,” ujar Jay dalam Forum Energy Outlook 2026: Strengthening Indonesia’s Energy Supply Chain yang digelar di Jakarta, dikutip Kamis (25/12/2025).
Menurut Jay, ekosistem pembiayaan bioenergi perlu dirancang agar mampu menurunkan risiko proyek, meningkatkan kelayakan finansial, serta memberi kepastian bagi investor dan perbankan. Sinergi antara pemerintah, industri, dan lembaga keuangan baik perbankan maupun non-perbankan menjadi kunci untuk mendorong proyek bioenergi masuk ke tahap komersial.
Sejalan dengan itu, Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin mendorong pembentukan Dana Investasi Bioenergi Nasional dengan skema blended finance. Skema ini dinilai penting untuk memberikan bantalan risiko bagi investor, terutama di daerah penghasil biomassa yang infrastruktur energinya belum berkembang optimal.
Baca Juga: Kebutuhan Gas Industri Meningkat, Pakar Dorong Eksplorasi 68 Cekungan di Indonesia
“Transisi energi tidak boleh hanya mengikuti mekanisme pasar. Harus ada keadilan wilayah agar daerah penghasil biomassa memperoleh nilai tambah secara langsung,” kata Sultan.
Dari sisi pemerintah, Kementerian ESDM menegaskan bahwa penguatan rantai pasok energi baik fosil maupun energi baru terbarukan menjadi prioritas dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Gas bumi tetap diposisikan sebagai energi transisi, sementara pengembangan EBT, termasuk bioenergi, diarahkan untuk menopang target penurunan emisi jangka panjang.
Ketua Umum Aspebindo Anggawira menambahkan, rantai pasok energi yang efisien dan andal sangat menentukan daya saing industri nasional. Tanpa penguatan di sisi pasokan dan logistik energi, biaya ekonomi akan meningkat dan memperlebar ketimpangan antarwilayah.
HIPMI bersama Aspebindo melihat bioenergi sebagai peluang ekonomi sekaligus instrumen pemerataan. Melalui Satgas Energi, HIPMI mendorong keterlibatan pengusaha muda dan UMKM dalam rantai nilai bioenergi, mulai dari penyediaan biomassa, pengolahan, hingga distribusi.
“Jika didukung pembiayaan yang terarah dan kolaboratif, bioenergi bisa menciptakan lapangan kerja, memperkuat ekonomi desa, dan menjadi bagian penting dari ketahanan energi nasional,” kata Jay.
Ke depan, hasil diskusi dalam Energy Outlook 2026 diharapkan dapat menjadi masukan konkret bagi pemerintah dan sektor keuangan untuk merumuskan kebijakan pembiayaan yang lebih adaptif, sehingga bioenergi tidak hanya menjadi agenda transisi energi, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Selanjutnya: UMP Jakarta Tahun 2026 Dipatok Rp 5,73 Juta, KSPI: Kami Menolak
Menarik Dibaca: Rekomendasi Sunscreen Anti Aging untuk Perlindungan Kulit di Usia 40 Tahun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












