Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tampak serius untuk menggarap peningkatan nilai tambah alias hilirisasi batubara. Selain menyiapkan sejumlah insentif, pemerintah juga sudah memetakan potensi hilirisasi untuk komoditas emas hitam ini.
Direktur Bina Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengungkapkan, hilirisasi batubara telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, khususnya di pasal 102 terkait kewajiban peningkatan nilai tambah minerba, serta pasal 169 mengenai kewajiban pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara bagi para pemegang IUPK kelanjutan PKP2B.
Wafid membeberkan, berdasarkan UU Minerba, pengembangan batubara terdiri dari enam skema. Pertama, peningkatan mutu batubara (coal upgrading). Kedua, pembuatan briket batubara. Ketiga, pembiatan kokas. Keempat, pencairan batubara (coal liquefaction).
Kelima, gasifikasi batubara, termasuk underground coal gasifikasi. Keenam, coal slurry atau coal water mixture. Sedangkan untuk pemanfaatan batubara bisa dilakukan melalui pembangunan sendiri PLTU di mulut tambang.
"Hingga saat ini, peningkatan nilai tambah batubara di Indonesia belum sepenuhnya mencapai tahap komersial. Yang sudah komersial baru dua, coal upgrading dan pembuatan briket batubara," terang Wafid dalam webinar yang digelar Rabu (18/11).
Baca Juga: Harga batubara bakal melambung berkat sejumlah katalis ini
Dia pun membeberkan perkembangan hilirisasi batubara dari ini berdasarkan jenis, potensi perusahaan yang akan mengembangkan, hingga kisaran investasi yang diperlukan untuk setiap proyeknya.
Pertama, untuk pengembangan batubara dengan jenis gasifikasi, sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan penjajakan. yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan produk Dimethyl Ether (DME), Methanol dan MEG. Selain PTBA, penjajakan juag sudah dilakukan oleh empat perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan menjadi IUPK.
Keempat PKP2B tersebut adalah (1) PT KPC dengan produk methanol, (2) PT Arutmin Indonesia dengan produk SNG yang saat ini sedang tahap finalisasi kajian. (3) PT Adaro Indonesia dengan produk methanol (masih kajian awal), dan (4) PT Berau Coal dengan produk DME/Hydrogen (masih kajian awal). Menurut Wafid, kisaran investasi untuk proyek ini cukup besar yakni sekitar US$ 1,5 miliar - US$ 3 miliar.
Kedua, underground coal gasification (UCG) penjajakan sudah dilakukan oleh tiga perusahaan. Yakni (1) PT Kideco Jaya Agung di Kalimantan Timur (pilot plant), (2) PT Indominco di Kalimantan Timur, (3) PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energy Ltd/ di Kalimantan Utara.
Investasi untuk proyek UCG ditaksir 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi dipermukaan. Investasi proyeknya berkisar US$ 600 juta-US$ 800 juta
Ketiga, pembuatan kokas. Proyek ini sudah dijajaki oleh PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) dengan produk semi cokes dan coal tar. Nilai investasi diperkirakan US$ 200 juta - US$ 400 juta,
Keempat, peningkatan mutu batubara (coal upgrading) yang sudah dilakukan oleh PT ZIG Resources Technology. Investasi untuk proyek ini sekitar US$ 80 juta-US$ 170 juta dan sudah komersial.
Kelima, pembuatan briket batubara. Proyek senilai Rp 200 miliar atau sekitar US$ 15 juta ini sudah tahap komersial. Perusahaan yang sudah mengerjakannya adalah PBA dan PT Thriveni.
Keenam, pencairan batubara (coal liquafaction). Proyek yang diperkirakan sebesar US$ 2 miliar-US$ 4 miliar ini hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Ketujuh, coal slurry/coal water mixture. Proyek sekitar US$ 200 juta - US$ 320 juta ini juga masih belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Baca Juga: Dampak gasifikasi batubara terhadap kinerja Bukit Asam (PTBA) ke depan
Wafid mengatakan, saat ini prioritas produk hilirisasi batubara ialah berupa DME dan metanol melalui proses gasifikasi batubara. Pasalnya, DME dan methanol bisa mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG, dan bahan baku industri kimia dasar.
"Salah satunya adalah LPG yang selama ini diimpor 75%-78%. Cukup memberatkan keuangan negara. Ini diharapkan bisa diatasi dengan DME hasil gasifikasi batubara," ujar Wafid.
Juga untuk kebutuhan metanol di Indonesia yang diperakirakan mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2025, yang sekitar 1,6 juta ton diperoleh melalui impor. "Kebutuhan impor ini lah yang kita inginkan untuk bisa diganti dengan hasil hilirisasi batubara," imbuh Wafid.
Kendati begitu, ada sejumlah tantangan dalam merealisasikan proyek ini. Yaitu investasi yang besar, serta harga DME yang harus mampu berkompetisi dengan LPG subsidi.
Baca Juga: Ramai sentimen, begini prospek emiten tambang batubara ke depan
Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah alternatif kebijakan. Seperti penyediaan insentif serta opsi untuk memberikan subsidi bagi DME, jika digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.
Masih menurut Wafid, ada empat skenario penyerapan produk hilirisasi batubara. Pertama, integrasi proyek dengan off taker. Sebagai contoh, proyek gasifikasi batubara yang terintegrasi.
"Juga konversi methanol menjadi DME didekat lokasi pengguna LPG. Misalnya methanol yang diproduksi di Kalimantan dan Sumsel dikonversi menjadi DME didekat lokasi pengguna LPG," ujar Wafid.
Kedua, melalui substitusi impor dalam negeri. Selain DME untuk subsitusi LPG, ada juga pemenuhan kebutuhan kokas bagi smelter dan pabrik baja dari pabrik cokes making dalam negeri.
Ketiga, melalui program pemerintah mengganti LPG dengan menggunakan briket untuk digunakan oleh UMKM. Keempat, promosi kepada investor baru untuk mengembangkan cadangan batubara kualitas rendah melalui gasiifkasi atau coal upgrading insitu.
Baca Juga: APBI: Ekspor batubara masih dominan lantaran serapan di dalam negeri belum signifikan
Proyek gasifikasi batubara pun ditargetkan sudah mulai beroperasi pada tahun 2025. Nah secara umum, Kementerian ESDM sudah menyiapkan proyeksi sebagai gambaran input batubara dan output produk hilirisasi yang bisa dihasilkan hingga tahun 2040.
Pada tahun 2040, total batubara yang akan dipasok untuk kebutuhan seluruh proyek hilirisasi ditaksir mencapai 51,46 juta ton. Sedangkan untuk keseluruhan produk hilirisasi yang dihasilkan ditaksir mencapai 28,43 juta ton.
Lebih lanjut, selain hilirisasi, Wafid juga mengungkapkan bahwa pemeritah juga sedang fokus pada penurunan emisi karbon. Pasalnya, dari total emisi C02 di Indonesia yang mencapai 1,262 Gt, 35% emisi C02 dihasilkan dari pembangkit listrik batubara.
Upaya yang dilakukan antara lain dengan penggunaan teknologi carbon capture, utilization and storage (CCUS) yang akan mengurangi emisi C02 ke atsmosfer. Atau melalui teknologi pemanfaatan C02 untuk produksi alga maupun injeksi Enhanched Oil Recovery (EOR). Di samping itu, hilirisasi batubara juga diklaim bakal meningkatkan efisiensi pembakaran di pembangkit listrik.
"Penurunan emisi karbon ini tantangan juga bagi pemanfaatan batubara. karena keinginan adanya green energy yang dipakai," imbuh Wafid.
Selanjutnya: Dirjen Minerba: Tiga rancangan PP dari UU Minerba sedang diproses pemerintah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News