Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi
Proyek akan menggandeng PT PAL Indonesia (Persero) untuk membangun reaktor dari pembangkit listrik tersebut atau Thorium Molten Salt Reactor (TMSR) 500.
Asal tau saja, PT PAL (Persero) yang bergerak di bidang konstruksi maritim memiliki diversifikasi produk lain dalam bidang energi. Hal ini dikatakan oleh Sutrisno, Direktur Rekayasa Umum, Pemeliharaan, dan Perbaikan PT PAL, dalam kesempatan yang sama.
Jika pengkajian berjalan lancar, Test Bed Platform TMSR500 akan dibangun pada tahun 2020. Diproyeksikan pembangunan dan testing masing-masing akan memakan waktu selama satu tahun. Jika semua berjalan sesuai rencana, maka pada tahun 2023 PLTT ini bisa dibangun. Lalu, pada tahun 2026 akan selesai dan siap beroperasi.
Baca Juga: ThorCon International Pte,Ltd dan PT PAL akan bangun PLTN
Sejauh ini, ada tiga lokasi yang diincar untuk pembangunan PLTT ini, di antaranya Kalimantan Barat, Bangka Belitung, dan Riau. Sementara untuk lokasi pembangunan TMSR500 akan dilakukan ujung Surabaya. Reaktor bikinan PT PAL akan memiliki panjang 18 meter dengan diameter 8 meter.
Sementara itu, rencana kehadiran PLTN mendapatkan tanggapan dari sejumlah kalangan. Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustafa bilang ada banyak alternatif sumber energi yang bisa dikembangkan ketimbang pengembangan PLTN. "Potensi tenaga surya 207 Gigawatt, tenaga angin sekitar 66 Gigawatt," ungkap Tata ketika dihubungi Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Tata menilai dampak yang dihasilkan dari pengembangan nuklir patut dipertimbangkan. Tidak hanya lingkungan, menurut Tata tenaga nuklir juga dapat memberi dampak buruk bagi masyarakat.
"Bukan tidak mungkin ke depannya akan muncul penolakan-penolakan," jelas Tata.
Lebih jauh Tata menjelaskan, aspek keekonomian bahkan juga patut diperhitungkan.
Tata bilang, pemerintahan Presiden Joko Widodo sebaiknya menaruh fokus pada pengembangan energi terbarukan yang dirasa lebih baik. Jika nantinya pemerintah mengembangkan PLTN, Tata meyakini perlu melihat kembali posisi Indonesia sebagai daerah rawan bencana seperti gempa.
"Sangat berisiko, kita diskusi dengan banyak kalangan dan ahli dan bisa niatan ini (memasukan PLTN dalam Prolegnas) terlihat seperti menyusup di regulasi yang ada," ujar Tata.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pengembangan PLTN tidak tepat dilakukan di Indonesia. "PLTN tidak kompetitif dan berkaca dari berbagai negara ada beragam dampaknya," sebut Fabby.
Menurut Fabby, banyak negara sudah mulai mengurungkan niat pengembangan PLTN sebab punya dampak jangka panjang bagi lingkungan. "Usia operasi PLTN maksimal 50 tahun, tapi limbah radioaktifnya ribuan tahun dan siapa yang akan menanggung biayanya," jelas Fabby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News