kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kementerian ESDM terbitkan regulasi harga patokan untuk tata niaga nikel domestik


Kamis, 23 April 2020 / 16:32 WIB
Kementerian ESDM terbitkan regulasi harga patokan untuk tata niaga nikel domestik
ILUSTRASI. Aktivitas penambangan nikel


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerbitkan aturan terkait harga patokan untuk tata niaga nikel domestik. Regulasi tersebut memang tidak dibuat khusus, namun terangkum dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020.

Beleid tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batubara. Permen ini diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 April 2020 dan diundangkan pada 14 April 2020.

Regulasi tersebut mengatur bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi (OP) mineral logam dan IUPK OP mineral logam yang memproduksi bijih nikel wajib mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM) logam dalam melakukan penjualan bijih yang diproduksi.

Baca Juga: Antam Mengerek Produksi Nikel

Kewajiban untuk mengacu pada HPM logam juga berlaku bagi pemegang IUP/IUPK OP mineral logam dalam menjual bijih nikel yang diproduksi kepada afiliasinya.

Sementara itu, pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel yang berasal dari pemegang IUP/IUPK OP mineral logam wajib melakukan pembelian bijih nikel dengan mengacu pada HPM logam. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2A.

Penghitungan HPM logam diatur dalam Pasal 3, yang berbunyi bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP/IUPK OP Mineral Logam, dan acuan harga penjualan bagi pemegang IUP/IUPK OP untuk penjualan bijih nikel.

Dalam aturan ini, pemerintah mengatur batas harga dasar (floor price) dengan menetapkan rentang toleransi (buffer) jika harga transaksi lebih dari HPM logam.

"Apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam pada periode kutipan sesuai harga mineral logam acuan atau terdapat penalti atas mineral pengotor (impurities), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM logam dengan selisih paling tinggi 3%," tulis peraturan tersebut yang dikutip Kontan.co.id, Kamis (23/4).

Sementara itu, apabila harga transaki lebih tinggi dari HPM logam pada periode kutipan sesuai harga mineral logam acuan atau etrdapat bonus atas mineral tertentu, penjualan wajib mengikuti harga transaksi diatas HPM logam.

Baca Juga: Produksi Nikel Vale Indonesia (INCO) Tumbuh 35% di Kuartal I-2020

Lebih lanjut, Pasal 9B di aturan ini mengatur bahwa pemegang IUP/IUPK OP mineral logam harus menunjuk pihak ketiga sebagai wasit (umpire) yang disepakati bersama dalam kontrak penjualan dengan pihak pembeli di dalam negeri. Pihak ketiga merupakan surveyor yang terdaftar yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

"Dalam hal terdapat perbedaan hasil verifikasi kualitas Mineral Logam antara Pemegang IUP/IUPK OP Mineral Logam dengan pihak pembeli di
dalam negeri, penentuan kualitas Mineral Logam mengacu pada hasil pengujian yang dilakukan oleh pihak ketiga," tegas Permen ESDM 11/2020 seperti dikutip Kontan.co.id.

Jika ada pihak yang melanggar atau tidak memenuhi aturan tersebut, pemerintah menyiapkan peringatan dan sanksi, mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, hingga pencabutan izin. Adapun, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 ini mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Dalam catatan Kontan.co.id, pengusaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menuntut adanya pengaturan tata niaga nikel domestik. Regulasi yang diharapkan juga menyangkut harga transaksi bijih nikel yang dibeli dari penambang oleh pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter).

Pasalnya, harga bijih nikel yang dijual ke smelter domestik seringkali berada jauh di bawah harga internasional maupun HPM. Menurut Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey, kondisi itu jelas sangat memberatkan penambang.

Terlebih, pemerintah sudah mempercepat larangan ekspor bijih nikel kadar rendah sejak 1 Januari 2020 lalu. Saat ini, penambang nikel pun terbebani oleh efek pandemi virus corona (covid-19) yang ikut menekan perusahaan yang bergerak di komoditas nikel, baik secara operasional maupun bisnis.

"Para penambang saat ini banyak dalam posisi diam tidak produksi, menunggu janji pemerintah untuk tata niaga nikel domestik," tutur Meidy kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Belum terdampak corona, Vale (INCO) tetap akan produksi 71.000 ton nikel tahun ini

Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, pemerintah ingin memastikan penambang maupun pengusaha smelter bisa mendapatkan harga yang layak, tidak lebih rendah dari perhitungan keekonomian harga pokok produksi ore nikel maupun smelter.

Dengan begitu, harga beli ore tidak akan terlampau jauh lebih rendah dari HPM sebagaimana yang dikeluhkan oleh para penambang saat ini. Sebagai ruang negosiasi, sambungnya, pemerintah juga akan menetapkan rentang batas harga yang berpatokan pada HPM.

Yunus mengatakan, rentang tersebut sebagai toleransi jika harga jual beli berada di bawah HPM, yang ditetapkan dalam bentuk persentase. "HPM itu floor price, itu patokannya. Bisa di bawah itu, tapi nanti kami kasih buffer (rentang toleransi), misalkan 3% dari HPM. Jadi harga bisa di bawah, asalkan di rentang itu. Cuman untuk persentase buffer-nya berapa masih dikaji, belum diputuskan," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×