Reporter: Filemon Agung | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memilih untuk tidak memberikan izin tambahan kuota impor bagi Badan Usaha setelah sebelumnya ExxonMobil menjadi Badan Usaha (BU) terakhir yang memperoleh izin.
Hal ini diungkapkan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto yang ditemui di Kementerian ESDM bilang sejauh ini Kementerian ESDM menilai izin yang diberikan sudah cukup.
Baca Juga: Pertamina sebut impor terbesar saat ini adalah gasoline dan bukan diesel
"Udah cukuplah dikasih, jangan tambah lagi, dihabiskan dulu yang ada," jelas Djoko, Senin (9/9).
Lebih jauh Djoko mengungkapkan, sejauh ini Kementerian ESDM belum memberikan izin tambahan kuota impor bagi BU lain selain ExxonMobil. Dalam catatan Kontan.co.id, Erwin Maryoto semasa menjabat Vice President Public and Government Affair ExxonMobil Indonesia menyebut rekomendasi dari Kementerian ESDM telah diberikan kepada ExxonMobil.
Langkah Kementerian ESDM dianggap akan semakin membantu usaha ExxonMobil dalam investasi migas.
"Sejalan dengan arahan Visi Indonesia dari Presiden Jokowi, kami menghargai upaya pemerintah dan Kementerian ESDM demi iklim investasi yang semakin baik," sebut Erwin, Kamis (18/7).
Adapun, Erwin memastikan skema perizinan impor yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dalam dua tahapan merupakan sesuatu yang sudah disepakati sejak awal. Pihak ExxonMobil diperbolehkan mengajukan perizinan dalam dua tahap. Namun Erwin menyebut tidak ada penambahan kuota impor sebab ketentuan mengenai kuota sudah disepakati sejak awal.
Baca Juga: Sikap Pemerintah Tidak Jelas, Bisnis Penjualan Solar Subsidi AKR (AKRA) Menggantung
Adapun kuota impor solar ExxonMobil untuk periode Januari-Desember 2019 yang disepakati sebesar 800.000 KL. Namun dalam tahapan pertama jumlah yang disetujui sebesar 226.000 KL. Dengan demikian, rekomendasi izin impor tahap kedua melengkapi kekurangan sebesar 574.000 KL.
Awal pekan lalu Djoko sempat menyebut, pemerintah menghimbau BU untuk melakukan diskusi business to business dengan Pertamina untuk pembelian solar khususya CN 48 sebab Pertamina memiliki pasokan berlebih. "Nah untuk yang kelebihan beli dari Pertamina lebih murah dong," sebut Djoko.
Baca Juga: Laba melesat 112%, begini kinerja Pertamina sepanjang semester I 2019
Ia menambahkan seandainya kedua pihak tidak menemui kata sepakat dalam negosiasi maka BU perlu melaporkan hal tersebut ke Dirjen Migas Kementerian ESDM.
Sementara itu, Erwin menyebut jenis BBM Solar yang dibutuhkan ExxonMobil sejatinya memang berbeda dengan apa yang dimiliki Pertamina.
“Spesifikasi BBM kami berbeda kualitas dengan kandungan Sulfur 500ppm yang terkait dengan kontrak jangka panjang dengan mitra bisnis kami. Nilainya sangat kecil, hanya 1% dari total impor migas Indonesia kuartal pertama 2019,” jelas Erwin.
Sementara itu, Anggota Komite BPH Migas Muhammad Ibnu Fajar mengungkapkan sejauh ini BPH Migas belum menerima laporan adanya kendala dalam penyaluran BBM oleh sejumlah Badan Usaha. "Semua masih berjalan seperti biasa," terang Ibnu.
Baca Juga: Biohidrokarbon dari olahan minyak sawit berpotensi jadi BBM masa depan
Lebih jauh Ibnu menyebut, BPH Migas tetap berpegang pada tugas dan kewajiban sebagai badan pengatur. Menanggapi kuota impor yang tertahan, Ibnu menilai belum ada skema baru yang dibutuhkan bagi BU.
"Sampai hari ini belum diperlukan skema khusus untuk BU dalam memperoleh BBM. Semua penyediaan dan distribusi BBM oleh BU dalam kondisi normal dan aman," ujar Ibnu.
Disisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai dengan keputusan tersebut maka opsi pembelian BBM dapat dilakukan melalui BUMN.
"Saya melihat hal ini sebagai mekanisme kontrol untuk menjaga transaksi berjalan dan transaksi perdagangan lebih termanage," sebut Komaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News