Reporter: Filemon Agung | Editor: Noverius Laoli
Awal pekan lalu Djoko sempat menyebut, pemerintah menghimbau BU untuk melakukan diskusi business to business dengan Pertamina untuk pembelian solar khususya CN 48 sebab Pertamina memiliki pasokan berlebih. "Nah untuk yang kelebihan beli dari Pertamina lebih murah dong," sebut Djoko.
Baca Juga: Laba melesat 112%, begini kinerja Pertamina sepanjang semester I 2019
Ia menambahkan seandainya kedua pihak tidak menemui kata sepakat dalam negosiasi maka BU perlu melaporkan hal tersebut ke Dirjen Migas Kementerian ESDM.
Sementara itu, Erwin menyebut jenis BBM Solar yang dibutuhkan ExxonMobil sejatinya memang berbeda dengan apa yang dimiliki Pertamina.
“Spesifikasi BBM kami berbeda kualitas dengan kandungan Sulfur 500ppm yang terkait dengan kontrak jangka panjang dengan mitra bisnis kami. Nilainya sangat kecil, hanya 1% dari total impor migas Indonesia kuartal pertama 2019,” jelas Erwin.
Sementara itu, Anggota Komite BPH Migas Muhammad Ibnu Fajar mengungkapkan sejauh ini BPH Migas belum menerima laporan adanya kendala dalam penyaluran BBM oleh sejumlah Badan Usaha. "Semua masih berjalan seperti biasa," terang Ibnu.
Baca Juga: Biohidrokarbon dari olahan minyak sawit berpotensi jadi BBM masa depan
Lebih jauh Ibnu menyebut, BPH Migas tetap berpegang pada tugas dan kewajiban sebagai badan pengatur. Menanggapi kuota impor yang tertahan, Ibnu menilai belum ada skema baru yang dibutuhkan bagi BU.
"Sampai hari ini belum diperlukan skema khusus untuk BU dalam memperoleh BBM. Semua penyediaan dan distribusi BBM oleh BU dalam kondisi normal dan aman," ujar Ibnu.
Disisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai dengan keputusan tersebut maka opsi pembelian BBM dapat dilakukan melalui BUMN.
"Saya melihat hal ini sebagai mekanisme kontrol untuk menjaga transaksi berjalan dan transaksi perdagangan lebih termanage," sebut Komaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News