Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengejar target hilirisasi mineral melalui pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah, ditargetkan akan ada 57 smelter yang sudah beroperasi pada tahun 2022.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, 57 smelter yang ditargetkan tersebut adalah yang berlisensi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. "Harusnya 60 ya, 57 khusus dari ESDM, 3 izin IUI (Izin Usaha Industri dari Kementerian Perindustrian)," kata Yunus kepada Kontan.co.id, Jum'at (10/5).
Namun, hingga tahun 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target tersebut. Sampai dengan tahun lalu, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.
Sehingga, direncanakan ada tambahan 30 smelter dalam empat tahun ke depan. Rincinya, ditargetkan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.
Sementara itu, Yunus mengungkapkan akan ada tiga smelter yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun ini. Yakni smelter nikel PT Aneka Tambang di Tanjung Buli-Halmera, smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, dan smelter nikel PT Wanatiara Persada di Obi, Halmahera.
Hingga Kuartal I-2019, Yunus mengklaim bahwa secara umum target pembangunan smelter masih sesuai target. "Sementara ini secara umum tercapai. Ketika ada perusahaan yang bandel, ya segera ekspornya dilarang, itu sebagai bentuk pembinaan kita," kata Yunus.
Meski demikian, tercatat ada enam perusahaan yang progres pembangunan smelternya tidak sesuai target. Lima diantaranya dikenai sanksi penghentian sementara izin ekspor, yakni PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit).
Sementara, satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor, yaitu PT Gunung Bintan Abadi (Bauksit). Yunus bilang, pihaknya akan terus mengevaluasi dan menindak tegas perusahaan yang tidak patuh terhadap ketentuan pembangunan smelter.
Langkah itu, sambung Yunus, justru dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen dalam pembangunan smelter dan hilirisasi mineral. "Jadi mana saja perusahaan yang betul serius membangun smelter, mana yang tidak. Intinya kita akan tegas, harus dimengerti kewajiban membangun smelter jalan terus" tegas Yunus.
Karenanya, Yunus yakin sekalipun target 57 smelter pada tahun 2022 tidak seluruhnya tercapai, roadmap hilirisasi dan penghentian ekspor mineral mentah tidak akan terganggu. Sebab, kewajiban membangun smelter tetap akan terus berlanjut.
Terlebih, kata Yunus, dari sisi keekonomian perusahaan akan tetap menyelesaikan pembangunan smelter yang memakan biaya investasi tinggi. "Kewajiban membangun (smelter) jalan terus, lagi pula kan sudah hampir jadi pasti tanggung kalau nggak selesai. Kan sayang investasinya," terangnya.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, pihaknya akan mencabut izin ekspor dari perusahaan yang belum menyelesaikan pembangunan smelter pada tahun 2022. "Jadi kalau nggak tercapai ya dia (perusahaan) nggak bakal bisa ekspor," kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (9/5) malam.
Sulit Tercapai
Dalam hal ini, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arief menilai perlu upaya ekstra untuk mengakselerasi pembangunan smelter supaya bisa mencapai target tersebut. Sebab, jika menilik data yang ada, sejak diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), rata-rata hanya ada tiga unit smelter yang bisa beroperasi setiap tahunnya.
Irwandy mencontohkan, pada tahun 2010-2011 hanya tiga smelter yang beroperasi. Rata-rata penambahan dari 2012-2018 adalah tiga smelter per tahun, kecuali pada tahun 2015 yang sebanyak tujuh smelter.
Alhasil, lanjut Irwandy, jika menggunakan angka pertumbuhan smelter tersebut, maka penambahan dalam tiga tahun ke depan hanya 9 smelter. Sehingga, total 27 smelter yang telah beroperasi, ditambah 9 smelter baru, hanya mencapai 36 smelter. "Masih jauh dari target 57 smelter, kecuali ada akselerasi," kata Irwandy.
Lebih jauh, Irwandy mengatakan bahwa program hilirisasi mineral akan lebih kompleks lagi. Sebab, hal ini terkait dengan keselarasan perizinan dan kesiapan dari sektor hulu mineral, pengolahan setengah jadi, hingga serapan pasar dari produk hasil pengolahan tersebut.
Oleh sebab itu, perlu ada konsistensi dan sinergi antar kementerian dan lembaga terkait. "Masalahnya tidak sederhana kebijakan dari Kementerian ESDM dan Perindustrian akan sangat menentukan," ungkapnya.
Di sisi lain, Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo meminta supaya pembangunan smelter tersebut bisa segera direalisasikan. Sejalan dengan itu, Jonatan pun menekankan pentingnya untuk menutup relaksasi izin ekspor mineral mentah atau ore.
Sebab, sambung Jonatan, kebijakan tersebut merugikan pengusaha yang sudah susah payah membangun smelter dengan investasi yang mahal. "Jadi harus stop ekspor dalam bentuk ore, karena cepat atau lambat smelter yang sudah dibangun akan kesulitan bahan baku, saat ini sudah mulai terjadi. Itu jelas sangat sangat merugikan investor yang sudah bangun smelter," ujar Jonatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News