Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Persoalan bea masuk impor kakao terus bergulir. Kementerian Keuangan (Kemkeu) saat ini terganjal pada penerapan kode Harmonized System (HS) alias penggolongan barang kakao yang hanya mempunyai satu kode saja.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, persoalan kode HS biji kakao yang hanya satu ini menjadi permasalahan. Pasalnya, jenis kakao apapun yang diimpor nantinya akan masuk dengan satu kode saja.
Jadi, pembedaan antara kakao yang bisa diimpor dan yang tidak akan sulit. Pembedaan kode HS tidak bisa dilakukan. Ini tentu sangat berbahaya karena akan merugikan petani kakao lokal. Industri dalam negeri bisa dibanjiri produk impor.
Maka dari itu Kemkeu saat ini sedang berdiskusi dengan tim tarif supaya pihak Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) bisa melakukan pemeriksaan dan bisa membedakan jenis kakao yang masuk. "Apakah ini biji kakao yang boleh diimpor atau tidak," ujar Bambang, Selasa (15/4).
Dirinya menjelaskan akan lebih baik kalau ada pembedaan jenis kakao sehingga apabila ada kebutuhan bea masuk kakao yang dihapuskan maka bisa dan mudah dilakukan.
Hingga sekarang ini, Kemkeu masih melakukan pembahasan apakah niat penghapusan bea masuk kakao diakibatkan produksi yang kurang ataupun karena biji kakao yang hendak diimpor tidak bisa dihasilkan di dalam negeri.
Diakuinya, biji kakao yang dimiliki Indonesia lebih fruity, sedangkan biji kakao Afrika lebih milky. Untuk membuat bubuk cokelat yang bagus membutuhkan kombinasi keduanya.
Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKIK) Piter jasman menjelaskan, kalau industri ingin melakukan impor biji kakao dari Afrika yaitu dari Ghana dan Pantai Gading. Ciri khas kakao kedua negara tersebut berbeda dan tidak dimiliki dalam negeri.
Piter bilang, karakteristik kakao dari dunia negara tersebut lebih kepada susu dan berbeda dengan Indonesia yang lebih ke buah-buahan. "Kita ingin buat coklat susu," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News