Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memperingatkan manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) dan lima perusahaan besar (the big five company) yang menandatangani kesepakatan IPOP agar mematuhi surat resmi yang dikeluarkan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan).
Amran berjanji akan segera mengecek terkait hal itu. “Nanti kita cek, nanti kami mau rapim dan kita cek. Kemudian kita konsolidasi,” ujar Mentan, Rabu (2/12).
Hal ini menanggapi kabar bahwa kelima perusahaan besar tersebut hingga kini tetap menolak membeli CPO dari perusahaan yang dinilai melanggar aturan IPOP.
Dirjen Perkebunan sendiri telah mengirim surat resmi kepada manajemen IPOP Indonesia dan kepada the big five company penandatangan IPOP. Surat tersebut intinya memerintahkan manajemen IPOP Indonesia dan lima perusahaan raksasa tersebut agar menunda pelaksanaan IPOP yang berlaku di Indonesia sejak awal tahun 2015 ini.
Amran menilai, kelima perusahaan besar yang tergabung IPOP seharusnya membeli tandan buah segar (TBS) milik perusahaan menengah yang menampung TBS dari petani. Sebab, perusahaan menengah dan kecil tersebut selama ini membeli TBS dari petani.
Ia bilang, konsen pemerintah adalah memberikan perlindungan kepada petani, sehingga dengan demikian diharapkan kesejahteraan petani bisa meningkat. Namun, adanya IPOP di Indonesia ini justru bertentangan dengan upaya Kementan dalam rangka mendorong kesejahteraan petani.
Sebab lima perusahaan raksasa kelapa sawit, yakni Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Asian Agri, Musim Mas, serta Golden Agri Resources tetap tidak mau membeli CPO dari perusahaan menengah dan kecil yang dinilai melanggar aturan yang tertuang dalam IPOP.
Padahal CPO yang diolah perusahaan menengah dan kecil tersebut mayoritas menyerap TBS dari petani. “Kita harus memperhatikan petani kecil dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, nanti kita cek (di lapangan),” kata Amran.
Ia menyebutkan, soal standarisasi perkebunan kelapa sawit harus mengacu kepada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), system standarisasi yang dibuat Pemerintah Indonesia. Apalagi, standarisasi ISPO ini sifatnya wajib bagi semua perusahaan sawit di Indonesia.
Terkait dengan ISPO, kata Amran, pemerintah Indonesia dengan Malaysia sepakat menyelaraskan ISPO dengan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), yang nantinya akan digabung menjadi satu standar.
Selain itu, Indonesia dan Malaysia juga sepakat membentuk organisasi Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk menjaga stabilitas harga sawit, dan mempromosikan keuntungan dari industri minyak kelapa sawit serta turunannya.
Salah satu perusahaan sawit yang terkena dampak negatif pemberlakuan IPOP adalah PT Mopoli Raya. Perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Sumatera Utara dan Aceh ini produk CPO-nya ditolak oleh lima perusahaan besar tersebut.
“Surat dari Dirjen Perkebunan itu tidak dilaksanakan oleh mereka. Buktinya, CPO kami tetap saja ditolak. Terpaksa kami jual ke perusahaan lain di luar mereka. Padahal kami juga menyerap TBS petani,” ujar Board Member PT Mopoli Raya Sabri Basyah.
Dirjen Perkebunan Gamal Nasir mengaku sudah mendengar kabar bahwa perusahaan besar yang menandatangani kesepakatan IPOP akan menarik diri alias keluar dari kesepakatan IPOP. Menurut Gamal, mereka pun terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut untuk mengamankan pasarnya.
“Saya dapat informasi, kalau tidak salah, ada dua yang akan menarik diri (keluar) dari IPOP,” kata Gamal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News