Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga kedelai global cukup mempengaruhi kelangsungan usaha produsen dan penjual tempe-tahu di dalam negeri.
Mengutip Bloomberg, harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) kontrak pengiriman Mei 2022 berada di level US$ 15,6 per bushel, padahal di akhir tahun lalu (31/12/2021) harga komoditas ini masih bertengger di level US$ 13,3 per bushel.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Pengusaha Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin mengatakan, komoditas kedelai menganut sistem perdagangan bebas sehingga pergerakan harganya sangat dipengaruhi oleh kondisi suplai dan permintaan di pasar.
Saat ini, China selaku konsumen kedelai terbesar di dunia mencatatkan kenaikan permintaan impor dari sebelumnya 65 juta - 75 juta ton per tahun menjadi lebih dari 90 juta per ton.
Baca Juga: Duh! Pengrajin Tahu dan Tempe Jabodetabek akan Mogok Produksi Selama 3 Hari
Di sisi lain, produsen kedelai terbesar global seperti Amerika Serikat dan Brasil sempat mengalami gangguan panen, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan suplai.
Walau bukan konsumen terbesar secara global, tren kenaikan harga kedelai tentu mempengaruhi pasar di Indonesia. Adapun Indonesia biasanya mengimpor sekitar 2,4 juta - 2,6 juta ton kedelai di tiap tahun.
Aip menyebut, saat ini rata-rata harga impor kedelai adalah sekitar Rp 10.650 per kilogram (kg). Harga ini hanya menghitung produk kedelai ketika berada di pelabuhan. Ketika didistribusikan ke berbagai daerah, harga kedelai impor tersebut dipastikan kembali naik karena ada tambahan komponen seperti biaya transportasi, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
“Kalau diantar ke Bandung bisa Rp 11.000 per kg. Ke Kalimantan bisa Rp 12.000 per kg,” ujar dia, Selasa (15/2).
Baca Juga: Emiten Poultry Kena Imbas Harga Broiler dan Omicron
Ketika harga kedelai naik, para produsen tempe tahu jelas bakal kesulitan. Apalagi, tren kenaikan harga kedelai berpotensi terjadi sampai pertengahan tahun atau ketika musim panen kedelai tiba.
Jika demikian, maka para produsen mesti memutar otak, misalnya dengan menyesuaikan bentuk tempe tahu yang akan dijual ke pedagang eceran. Jika upaya ini belum membuahkan hasil, maka menaikkan harga jual tempe tahu mesti dilakukan agar produsen terhindar dari risiko kerugian yang besar.
“Tetapi kalau produsen menaikkan harga jual, para pedagang biasanya akan marah. Ini sulit dilakukan karena hubungan antar pelaku usaha dan pedagang tempe tahu sudah terjalin puluhan tahun layaknya keluarga,” ungkap Aip.
Dengan kondisi seperti ini, para pengusaha tempe tahu memprioritaskan untuk saling membantu satu sama lain agar menghindari risiko kebangkrutan. Apalagi, mayoritas produsen tempe tahu merupakan kelompok UMKM atau industri rumahan.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengaku, sebagian komoditas yang menjadi bahan baku pangan mengalami tren kenaikan di pasar global.
Baca Juga: Kemendag Pastikan Stok Kedelai Aman Hingga Dua Bulan ke Depan
Pemerintah pun memprioritaskan ketersediaan stok terlebih dahulu pada komoditas yang tidak banyak diproduksi di Indonesia, sehingga harus diimpor dari luar negeri.
“Untuk itu, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk tidak menghentikan importasinya, mengingat terdapat sekitar 160.000 UMKM pengrajin tempe-tahu yang harus dipastikan kelangsungan usahanya,” terang dia, hari ini.
Kemendag juga tengah melakukan pembahasan terkait upaya-upaya lainnya dalam membantu pelaku usaha agar memperoleh bahan baku komoditas dengan harga yang terjangkau.
Di sisi lain, pemerintah juga terus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa kenaikan harga beberapa komoditas dikarenakan oleh pergerakan harga tersebut di pasar internasional, sehingga dapat berpengaruh pula terhadap produk pangan yang dihasilkan dari komoditas tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News