kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.476.000   8.000   0,54%
  • USD/IDR 15.855   57,00   0,36%
  • IDX 7.134   -26,98   -0,38%
  • KOMPAS100 1.094   -0,62   -0,06%
  • LQ45 868   -3,96   -0,45%
  • ISSI 217   0,66   0,31%
  • IDX30 444   -2,90   -0,65%
  • IDXHIDIV20 536   -4,36   -0,81%
  • IDX80 126   -0,06   -0,05%
  • IDXV30 134   -2,14   -1,58%
  • IDXQ30 148   -1,23   -0,83%

Kenaikan PPN Jadi 12% Berisiko Tekan Pertumbuhan Industri Ritel


Senin, 18 November 2024 / 16:00 WIB
Kenaikan PPN Jadi 12% Berisiko Tekan Pertumbuhan Industri Ritel
ILUSTRASI. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis) Kenaikan tarif PPN menjadi 12%, pada1 Januari 2025, berpotensi memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap industri ritel nasional.


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025, dinilai berpotensi memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap industri ritel nasional. 

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut dapat menekan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan sektor ritel.  

“Kenaikan PPN akan mengakibatkan kenaikan harga produk atau barang, yang tentunya memberatkan masyarakat, terutama kelompok kelas menengah bawah. Saat ini daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah menghadapi berbagai tekanan ekonomi,” ujar Alphonzus kepada KONTAN, Senin (18/11).

Alphonzus menyoroti bahwa tarif PPN yang berlaku di Indonesia saat ini tidak tergolong rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada alasan mendesak untuk menaikkan tarif PPN hingga 12% pada awal 2025.  

Baca Juga: Aprindo Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12%, Ini Alasannya

“Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif PPN kita saat ini sudah kompetitif. Fokus seharusnya bukan pada menaikkan tarif, melainkan pada mengoptimalkan pertumbuhan usaha terlebih dahulu. Setelah pertumbuhan usaha mencapai tingkat yang optimal, barulah pemerintah dapat mempertimbangkan kenaikan PPN,” jelasnya.  

APPBI berharap pemerintah meninjau ulang rencana ini dan mempertimbangkan untuk menunda penerapan tarif baru. Alphonzus menekankan bahwa saat ini masih banyak potensi pertumbuhan usaha yang belum dioptimalkan, sehingga upaya peningkatan penerimaan negara sebaiknya dilakukan dengan mendorong ekspansi bisnis terlebih dahulu.  

“Kalau pemerintah tetap memberlakukan kenaikan tarif, harus ada stimulus yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Jika tidak, pertumbuhan sektor ritel tahun depan kemungkinan besar hanya mencapai single digit, atau tidak lebih dari 10%,” tegas Alphonzus.  

APPBI memproyeksikan bahwa tanpa adanya langkah mitigasi, kenaikan tarif PPN akan menekan konsumsi domestik yang menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Momen-momen penting seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Natal-Tahun Baru, yang biasanya menjadi puncak belanja masyarakat, juga berisiko terdampak.  

“Kondisi ini jelas akan memengaruhi performa pusat perbelanjaan, yang selama ini menjadi tulang punggung sektor ritel. Kita butuh kebijakan yang mendukung pemulihan, bukan yang memperberat beban konsumen dan pelaku usaha,” tutup Alphonzus.  

Baca Juga: Tarif PPN 12%, Tingkatkan Risiko Kemiskinan hingga Tekan Daya Saing Investasi

Selanjutnya: Harga Pangan di Sumbar Senin (18/11): Ikan Kembung Tembus Rp49.500 per Kg

Menarik Dibaca: Cara Menanam Bunga Mawar dari Stek Batang Menggunakan Tisu Toilet yang Benar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×