Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi mengesahkan regulasi royalti progresif untuk sektor mineral dan batubara (minerba), seiring terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 dan 19 Tahun 2025.
Kebijakan ini diproyeksikan mendorong penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba menembus Rp 200 triliun pada tahun ini, naik sekitar 30%-40% dibandingkan realisasi 2024 sebesar Rp 142,88 triliun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengatakan, Aspebindo telah aktif berdiskusi dengan Kementerian ESDM. Aspebindo mendorong agar tarif royalti mengikuti harga komoditas—naik saat harga naik, dan turun saat harga rendah.
Baca Juga: Aspebindo Dukung Skema Royalti Dinamis dalam PP Minerba Terbaru
Di sisi lain, Aspebindo juga menilai kebijakan tersebut perlu dibarengi insentif fiskal dan kemudahan perizinan untuk menjaga daya saing. Tanpa dukungan tersebut, pelaku usaha berisiko menaikkan harga jual, yang bisa menekan permintaan.
"Investor butuh kepastian. Kami harap penyesuaian royalti ini cukup dilakukan satu kali dalam lima tahun ke depan," kata Fathul kepada Kontan, Rabu (23/4).
Fathul menuturkan, sebagian hasil kenaikan PNBP idealnya dikembalikan ke sektor minerba, khususnya untuk mendukung hilirisasi batubara dan mineral.
Aspebindo mengusulkan agar 20% dari total PNBP royalti dialokasikan khusus untuk pembiayaan proyek hilirisasi dan riset SDM. Dengan proyeksi PNBP mencapai Rp 185,74 hingga Rp 200,03 triliun, maka dana yang dapat disisihkan berkisar Rp 37 hingga Rp 50 triliun.
Baca Juga: Aturan Tarif Royalti Minerba Disahkan, Pelaku Usaha Siapkan Strategi Efisiensi
"Pendanaan sebesar itu bisa digunakan untuk mendanai proyek strategis seperti DME dan smelter nikel tanpa mengandalkan APBN," tegas Fathul.
Di sisi lain, Fathul menilai kenaikan royalti tidak akan berdampak besar pada harga ekspor karena harga komoditas lebih dipengaruhi oleh faktor global. Namun, ia mewanti-wanti potensi lonjakan biaya produksi untuk pasar domestik.
"Aspebindo mendorong pemerintah untuk bernegosiasi dengan negara-negara pembeli utama seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan agar kontrak jangka panjang menggunakan harga acuan Indonesia, baik HBA maupun HMA," pungkasnya.
Selanjutnya: Dinamika dan Potensi Brand Lokal dalam Mengimplementasikan Prinsip ESG
Menarik Dibaca: Ini Cara Allianz Indonesia Dukung Kepemimpinan Perempuan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News