kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kenaikan Tarif Cukai Dinilai Memperburuk Industri Hasil Tembakau di Tanah Air


Sabtu, 05 Februari 2022 / 12:31 WIB
Kenaikan Tarif Cukai Dinilai Memperburuk Industri Hasil Tembakau di Tanah Air
ILUSTRASI. rokok./FCTC REUTERS/Thomas White/Illustration TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, menilai kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2022 sebesar 12% dan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 192 tahun 2021, sangat eksesif sehingga akan semakin memperburuk kelangsungan sektor pertembakauan nasional. Menurut legislator senior Partai Golkar itu, terdapat dua hal utama yang harus diwaspadai. 

Pertama, kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal. 

“Kenaikan harga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah permintaan rokok ilegal. Kenaikan peredaran rokok ilegal, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dapat berdampak terhadap keberlangsungan IHT,” kata Firman dalam keterangannya, Sabtu (5/2).

Kedua, kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam jangka panjang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT. Sebab, kenaikan harga rokok yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak terhadap kenaikan rokok ilegal dan keberlangsungan IHT yang selanjutnya juga dapat berpotensi menggerus penerimaan negara.

Baca Juga: TKDN Produk Kabel di Indonesia Sudah Tembus 95%

Adanya penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer, menurut anggota Komisi IV DPR RI, ini harus dipahami dengan perspektif kepentingan global. Keberadaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) salah satu agendanya adalah pengurangan pabrikan rokok kretek di Indonesia. Agenda tersebut, dalam pandangannya, sejalan dengan salah satu korporasi rokok internasional yang beroperasi di Indonesia.

Firman memproyeksikan, kelak kalau simplifikasi rokok dibiarkan terus terjadi tidak tertutup kemungkinan pabrik atau perusahaan rokok yang tersisa di Indonesia hanya tinggal tiga bahkan hanya ada satu. “Jadi, yang sebenarnya terjadi itu bukan simplifikasi tapi pengurangan atau penghilangan golongan rokok. Bahkan upaya mematikan industri rokok kretek di tanah air,” tegasnya.

Sebelumnya anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyoroti kampanye negatif (negative campaign) yang dilakukan pemerintah, seperti rokok sebagai konsumsi terbesar kedua dalam komponen pengeluaran rumah tangga miskin, rokok resiko penyebab kematian kedua, rokok menjadi beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan beban ekonomi, dan masih banyak lagi. 

“Itu sebuah narasi yang selalu dikaitkan dengan setiap kenaikan cukai rokok. Dan, berbagai alasan tersebut harus dikaji kembali secara komprehensif sehingga akan mendapatkan hasil yang moderat,” tegasnya.

Baca Juga: Jaga Tren Pemulihan Ekonomi, Airlangga: Pemerintah Cermati Berbagai Risiko Inflasi

“Saya berharap pemerintah harus lebih berimbang. Saya menginginkan ada keseimbangan, ada regulasi yang lebih berpihak pada kepentingan petani tembakau, ada pabrikan rokok kecil dimana mereka industri rumahan yang kelangsungan usahanya juga harus dilindungi sesuai dengan cita-cita demokrasi ekonomi yang memberdayakan hajat hidup orang banyak,” terangnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mengatakan dampak kenaikan CHT dan simplifikasi sangat memberatkan IHT legal. Di saat pandemi Covid-19 melumpuhkan sendi-sendi ekonomi, pemerintah sudah menaikkan cukai hasil tembakau 3 kali.

“Kenaikan cukai tahun 2020 belum dijalankan, kita sudah dihantam pandemi, produksi turun, daya beli turun, pemerintah tetap naikkan cukai sebesar 12,5%, lalu sekarang cukai dinaikkan 12%. Dampaknya sangat besar pada penurunan produksi dan maraknya rokok ilegal,” terang Sulami Bahar.

Terkait simplifikasi dari 10 layer menjadi 8 layer, Sulami sejatinya keberatan dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, simplifikasi itu akan mematikan perusahaan rokok menengah dan kecil. Selain itu, simplifikasi akan makin menegaskan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, Sulami Bahar mengusulkan agar pemerintah memberikan kepastian usaha bagi kepastian usaha industri hasil tembakau legal melalui roadmap

“Bukan hanya roadmap industri secara besar atau secara keseluruhan, tetapi juga yang khusus mengatur kebijakan kenaikan cukai. Misalnya kenaikan cukai per 3 tahun. Sehingga pengusaha bisa membuat perencanaan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×