Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk industri kembali mencuat belakangan ini. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjanjikan akan adanya lahan pengganti untuk masyarakat dan industri yang terkena Peraturan Pemerintah (PP) nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Guru Besar IPG Santun Sitorus mengatakan prihatin adanya sengketa antara pemerintah dan industri serta masyarakat akibat PP gambut tersebut. Ia mengatakan pemerintah perlu hati-hati dalam penetapan satu kebijakan agar tidak berdampak kontradiktif dengan masyarakat di lapangan.
"Apalagi kalau pememerintah menjanjikan adanya lahan pengganti, hal ini sulit untuk diwujudkan,"ujarnya, Jumat (22/12).
Ia menjelaskan, ketersediaan lahan untuk industri dan masyarakat saat ini semakin terbatas. Apalagi di sisi lain, pemerintah tengah fokus menggarap persawahan dan perkebunan untuk meningkatkan produksi pangan.
Ia khawatir pemerintah tidak sanggup memenuhi janji memberikan ratusan ribu hektare lahan kepada industri dan masyarakat yang terkena regulasi PP gambut.
"Jangankan ratusan ribu hektare (ha), untuk lahan 20.00 ha per tahun saja untuk pangan masih sulit didapat,"katanya mengingatkan.
Karena itu, ia menyarankan agar implementasi perubahan fungsi budidaya menjadi fungsi lindung sebaiknya dilaksanakan setelah ada kepastian tersedianya lahan pengganti yang telah terverifikasi lokasi dan luasannya.
Dia juga mengingatkan PP gambut harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya, regulasi itu mempunyai dampak sangat besar terhadap tenaga kerja di industri sawit. Dampak ekstrem yakni sebanyak 590.000-740.000 petani akan kehilangan pekerjaan hingga tahun 2020.
Selain itu, diperkirakan terjadi pengurangan lahan sawit hingga mencapai 2 juta hektar pada tahun yang sama. Sementara itu, pakar lingkungan Emil Salim mengharapkan, penggunaan teknologi harus menjadi solusi untuk mencapai efisiensi pemanfaatan lahan agar tercapai keseimbangan ekologi dan ekonomi.
"Itu berarti pengembangan teknologi seperti tata kelola air di gambut serta penggunaan bibit unggul harus mampu menggantikan keterbatasan lahan untuk peningkatan produksi. Kita jangan lagi hanya mengandalkan otot untuk meningkatkan produksi melalui ekspansi lahan.” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News