kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketua Umum APTI: Perlu kebijakan yang stabil terhadap industri hasil tembakau


Sabtu, 09 Mei 2020 / 17:44 WIB
Ketua Umum APTI: Perlu kebijakan yang stabil terhadap industri hasil tembakau
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) secara manual di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019).


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komoditas tembakau di Indonesia sempat menjadi primadona di kalangan petani musiman. Di Indonesia terdapat beragam jenis pertanian tembakau dengan kualitas yang beragam.

Meskipun sebagian besar pabrik memiliki skala produksi yang terbilang kecil, pabrikan rokok rumahan yang ada di beberapa provinsi seperti Madura, Probolinggo, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi ternyata cukup berperan sebagai penopang ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput. Beberapa nama pabrikan skala kecil-menengah yang masih eksis antara lain Pabrik Rokok (PR) Jagung, PR Alaina, PR Bokormas, PR Jiwa Manunggal, serta PR Cakraguna Cipta.

Menurut Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Djoko Wahyudi, mengatakan, pabrikan rokok kecil dan menengah adalah penyerap tembakau kualitas standar terbesar. Dalam praktiknya, perbedaan grade tembakau juga mempengaruhi penyerapan oleh masing-masing pabrikan. Kualitas tinggi biasanya akan dipasok ke perusahaan-perusahaan rokok besar, sedangkan kualitas standar akan diambil oleh pabrik rumahan. Hal ini membuat komoditas tembakau di Indonesia memiliki pasarnya sendiri dan menumbuhkan banyak skala pabrikan di berbagai provinsi.

Baca Juga: GAPPRI harap gubernur Jatim tak wajibkan rapid test bagi perusahaan padat karya

Selain itu, pabrikan rokok kecil dan menengah juga merupakan penyuplai rokok dengan harga ekonomis kepada konsumen kelas menengah ke bawah. “Heterogenitas atau keragaman ini penting untuk saling melengkapi kebutuhan masyarakat dari kelas ekonomi yang beragam sekaligus menjadi mata pencaharian utama untuk menyambung kehidupan,” ujar Djoko dalam keterangan resmi, Sabtu (9/5).

Meskipun demikian, keberadaan pabrik rokok di Indonesia diketahui telah menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011 terdapat 1.540 pabrik rokok kecil, menengah, hingga besar di Indonesia. Namun, pada tahun 2017 jumlah ini menurun drastis menjadi 487 pabrik saja.

Disinggung soal masa depan pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) di tengah kondisi ekonomi yang tidak kondusif akibat wabah Covid-19, ia menyampaikan, pemerintah sebaiknya lebih peka ketika membuat kebijakan yang bisa berdampak lebih jauh pada kelangsungan industri tembakau. Terlebih saat ini tengah terjadi perlambatan ekonomi besar-besaran karena dampak pandemi yang turut mencederai banyak usaha kecil dan menengah.

Baca Juga: Indonesian Tobacco (ITIC) akan membayar penuh THR Lebaran tahun ini

“Adanya wacana-wacana perubahan kebijakan agar tidak dilanjutkan karena akan menyulitkan perusahaan untuk membangun strategi, khususnya di masa penurunan ekonomi yang terjadi sebagai dampak wabah Covid-19 ini,” kata Djoko.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji menambahkan, perlindungan akan komoditas tembakau nasional harus terus diperhatikan. Jika semakin banyak pabrik rokok khususnya golongan kecil dan menengah gulung tikar, maka serapan terhadap komoditas tembakau juga semakin berkurang.

“Bagaimana dengan nasib komoditas tembakau dalam negeri serta kelangsungan petani-petani tembakau. Dibutuhkan aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah agar tidak mengancam usaha skala kecil-menengah dan tentunya para petani tembakau,” tutur Agus.

Baca Juga: Pekerja minta hilangkan diskriminasi bagi buruh terdampak COVID-19

Keragaman pabrik hasil tembakau di Indonesia diakui dan dirangkum jelas di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai tarif cukai hasil tembakau.

Dalam aturan ini, disebutkan ketegori pabrikan tembakau di Indonesia berdasarkan jenis rokok, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT), kelas pabrikan berdasarkan jumlah produksi setiap tahunnya, serta Harga Jual Eceran (HJE) dari produk rokok yang dihasilkan.

Dari aturan tersebut tergambar jelas bahwa di Indonesia terdapat jenis pabrikan yang berbeda-beda tergantung kapasitas produksi mereka. Atas dasar itu pula, Pemerintah menetapkan tarif cukai yang berbeda. Oleh karenanya, Agus menekankan, pentingnya untuk memastikan bahwa pembagian kategori itu tetap sebagaimana mestinya agar mampu menjaga eksistensi komoditas tembakau nasional.

Baca Juga: Ada insentif triliunan untuk perusahaan rokok, ini kata GAPPRI

Terlebih, hal ini menyangkut sumber mata pencaharian sekitar tiga juta petani dan menghidupkan sekitar 245.371 hektar lahan. “Demi melindungi para petani tembakau yang sangat bergantung pada kelangsungan bisnis industri rokok di Indonesia, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang stabil terhadap IHT di masa depan tanpa perlu terus mengubah yang sudah ada,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×