Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Arief S. Wirawangsadita, pemilik restoran Bumbu Desa dan Kampung Sampireun meninggal dunia. Almarhum tutup usia pada pukul 08.00 WIB Minggu 26 Juli 2020.
Arief dikenal sebagai pebisnis yang cukup sukses. Dalam “Mengayuh Sampan Bisnis dari Hotel hingga Restoran: Kisah Arief S. Wirawangsadita membangun bisnis hotel dan restoran” dimuat Tabloid Mingguan KONTAN edisi 26 September 2008, semua cerita berawal saat lulus kuliah dari FakultaS Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, tahun 1990.
Kebetulan orangtua Arief mendapat warisan hotel peninggalan eyangnya di Garut. Karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai dosen, orang tua Arief pun menyerahkan pengelolaan Hotel Tirtagangga kepadanya.
Baca Juga: Pemilik restoran Bumbu Desa dan Kampung Sampireun meninggal dunia
Dengan pinjaman bank sebesar Rp 2,5 miliar, ia merombak total bangunan hotel tersebut. Namun, ketika itu, ia belum merasa mantap mengelola Hotel Tirtagangga yang berlokasi di Kota Dodol itu. “Ya karena saya sendiri masih bolak-balik Garut-Bandung,” tutur Arief.
Padahal, Arief melihat ada potensi pasar dari kalangan ekspa-triat, di antaranya orang-orang Eropa. Apalagi dilihat dari sejarahnya, Garut juga mempunyai banyak perkebunan teh, sehingga wajar bila banyak orang Eropa yang singgah ke Garut untuk mengenang riwayat orangtua mereka dan bernostalgia.
Nah, tentunya hal itu bisa dijual. Maka, kemudian Arief mendatangi biro perjalanan dan menawarkan paket perjalanan ke objek wisata di Garut. Alhasil, banyak tamu menginap di hotel miliknya.
Setelah beberapa tahun mengelola Hotel Tirtagangga, ternyata otak bisnis Arief semakin terasah. Pada tahun 1999, bersama saudaranya, Arief mendirikan Kampung Sampireun Resort & Spa.
Jika Hotel Tirtagangga konsepnya lebih ke hotel berisi kamar-kamar, Sampireun agak berbeda. “Saya pakai konsep di atas danau dengan vila-vila di sekitarnya,” tandas dia.
Dengan konsep tersebut, praktis tamu yang menginap harus menyeberang naik perahu untuk menuju vila. Jadilah Arief mantap membangun resor dengan jumlah vila sebanyak 22 unit ini dengan modal sekitar Rp 2 miliar.
Jika sebelumnya Arief lebih sering bolak-balik Garut-Bandung, sejak mendirikan Sampireun praktis ia menetap di Garut. Yang unik, sewaktu mendirikan Sampireun, ternyata awalnya Arief tidak mengajukan IMB.
“Karena tempat ini bukan tempat untuk wisata, makanya saya pikir perlu mendekati masyarakat sekitarnya,” kenang dia.
Menurutnya, jika mengurus IMB dulu, ia perlu mengurus izin ke berbagai pihak, dari mulai pemegang saham, alim ulama, hingga ke pemerintah setempat. Nyatanya, begitu pemerintah setempat melihat tindakannya ini bisa mendatangkan turis, praktis izin sudah di tangannya.
Bahkan, pembukaan Kampung Sampireun dilakukan oleh Menteri Pariwisata waktu itu, Marzuki Usman. Dengan tarif paling murah Rp 1,6 juta semalam, tingkat okupansi Sampireun di akhir pekan bisa mencapai 95%.
Tak perlu heran, hanya dalam waktu 3 tahun Sampireun sudah balik modal. Sewaktu menetap di Garut, Arief melihat ada banyak kekayaan kuliner tradisional di sekitar kampung yang belum terangkat.
“Saya berpikir bagaimana mengemasnya? Tidak hanya berjualan tapi juga menyatu dengan kultur,” tandasnya.
Dari ide tersebut, Arief pun mendirikan Restoran Bumbu Desa tahun 2004 dengan modal sekitar Rp 2,5 miliar. Sang ibu membantu penuh Arief untuk urusan menu.
“Kebetulan ibu asli Garut, jadi ini sebagai wujud apresiasi saya terhadap jagoan-jagoan masak tempo dulu,” ucap dia.
Sebagai pemanis, Bumbu Desa tidak hanya menyajikan sajian menu Sunda, melainkan juga pelayanan khas Sunda, seperti ucapan wilujeng sumping yang berarti selamat datang, hingga hatur nuhun alias terimakasih. “Sapaan itu yang membuat kami beda dengan yang lain,” cetusnya.
Bumbu Desa terus berkembang
Hanya dalam waktu 1,5 tahun, investasi Arief di Bumbu Desa sudah balik. Arief bahkan berhasil melebarkan sayap. Ia mendirikan cabang di Surabaya.
Ternyata usahanya terus berkembang dan kini sudah mencapai 8 gerai di seluruh Indonesia dengan rata-rata pengunjung mencapai 600 orang per hari per gerai.
“Saya merencanakan menambah lagi 8 gerai, dua di Jawa sisanya di luar Jawa,” imbuhnya.
Menariknya, untuk mengembangkan sayapnya, Arief lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain ketimbang membuka waralaba.
Kini, setiap bisnis Arief, termasuk Raja Melayu yang didirikan tahun 2006, berada di bawah kendali perusahaan masing-masing. Namun, Arief tetap mengontrol keseluruhan perusahaan.
Bagi Arief, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Ia sendiri berencana melebarkan sayapnya lagi dengan membangun hotel baru dengan konsep yang berbeda dari dua hotel miliknya. “Tapi, tunggu tanggal mainnya, ya,” ucap Arief kala itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News