kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kisah Grup Bakrie lalui krisis demi krisis


Kamis, 11 Juli 2013 / 15:21 WIB
Kisah Grup Bakrie lalui krisis demi krisis
ILUSTRASI. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan sejumlah wilayah menjadi daerah dengan status. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.


Reporter: Maria Elga Ratri, Fitri Nur Arifenie | Editor: Havid Vebri

Membicarakan kelompok usaha Bakrie, pasti tak akan lepas dari kiprah Aburizal Bakrie yang juga akrab dipanggil Ical itu. Sebagai putra sulung sang pendiri, yaitu Achmad Bakrie, peran Ical memang sentral dalam mengembangkan perusahaan keluarga itu.

Aburizal Bakrie lahir di Jakarta pada 15 November 1946. Dia memimpin kelompok usaha Bakrie sejak tahun 1992 hingga tahun 2004. Ketika diminta oleh Jusuf Kalla menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat periode 2004-2009, Ical baru memutuskan berhenti dari bisnis dan selanjutnya berfokus di dunia politik, sampai sekarang.

Saat ditemui di salah satu pusat kerajaan bisnisnya, di kompleks Rasuna Epicentrum, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu itu, pria ini menerima KONTAN dengan ramah. Jabatan tangannya terasa mantap.

Di usianya yang menginjak 66 tahun, Ical, terlihat tetap bugar. Lebih dari satu jam, KONTAN berbincang dengan orang yang pernah masuk jajaran 10 besar daftar orang terkaya di Indonesia itu. Sulit disangkal, Grup Bakrie termasuk salah satu dari sekian grup bisnis di Indonesia yang sudah berumur lebih dari setengah abad.

Tahun ini, kelompok usaha itu memasuki 71 tahun. Ical menceritakan, cikal bakal Grup Bakrie yang dirintis almarhum ayah adalah perdagangan ekspor impor. "Mulai dari impor mainan anak-anak, tekstil, hingga pipa baja," ujarnya.

Tahun 1957, ayahnya mulai merambah usaha produksi. "Ayah saya mulai membangun pabrik kecil pipa baja untuk saluran air dan furnitur," tutur Ical. Naluri bisnis Ical sudah muncul dan terasah sejak kecil. Saat masih anak-anak, Ical menjual layang-layang.

Sewaktu duduk di bangku kuliah, Ical berjualan tas dan kaus. Demi memperbesar penghasilan, Ical pernah ikut dalam tender pembuatan meja arsitek. Asal tahu saja, Ical mengambil jurusan teknik elektro di Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan yang jauh dari bau-bau bisnis.

"Pendidikan itu bisa kemana-mana asal cara berpikirnya sudah benar. Yang penting sudah sekolah. Bisa riset, bisa bisnis, bisa macam-macam," kata dia.

Kendati berasal dari keluarga mampu, ia tak begitu saja mudah mendapatkan modal  untuk berbisnis. Untuk urusan modal, ia berutang sebanyak Rp 16 juta kepada ayahnya. Karena itu, setelah lulus kuliah, Ical berjualan beton dan aspal untuk melunasi utang tersebut. Baru setelah utang lunas, lulusan teknik elektro ITB tahun 1972 ini mulai terlibat dalam bisnis keluarga.

Kebetulan nyaris berbarengan, ayahnya mulai ekspansi. Perusahaan yang semula memproduksi pipa baja untuk saluran air, telah merambah ke produksi pipa minyak dan gas.

Tahun 1985 perusahaan Bakrie mulai melirik bisnis perkebunan dan membeli perkebunan milik perusahan Amerika Serikat. Meski jauh dari bisnis inti, Grup Bakrie melihat usaha perkebunan mampu cukup prospektif.

Setelah itu, Grup Bakrie membentuk kerjasama dengan Trans Shield dan membuat berbagai anjungan minyak lepas pantai serta crane untuk domestik dan ekspor. Perusahaan patungan ini bernama PT Trans Bakrie.

Singkat cerita, bisnis grup Bakrie yang berada di bawah kendali PT Bakrie & Brothers  itu, makin besar. Berbagai bidang bisnisnya melebar, dari manufaktur, perkebunan, keuangan, dan sejumlah sektor lain. Tahun 1993, Bakrie mulai masuk ke bisnis telekomunikasi dengan mendirikan PT Ratelindo pada tahun 1993.

Akhir era 1990-an, ujian datang satu per satu. Salah satu yang paling dahsyat adalah saat krisis moneter Indonesia tahun 1998. Banyak perusahaan kolaps. Grup Bakrie pun tak luput dan terjerembab karena jeratan utang yang nilainya mencapai US$ 3 miliar. "Saya lupa persisnya, tapi sekitar US$ 3 miliar," kenang Ical.  

Kabarnya, Ical sampai harus pergi ke 220 bank di seluruh dunia dan mencari pinjaman baru untuk melunasi utangnya itu. Akhirnya, keluarga ini harus melego saham Bakrie Brothers.  Tahun 1996, keluarga Bakrie memiliki 55% saham Bakrie & Brothers.

Tahun 1998, porsinya turun menjadi 2,5%. "Jadi setelah restrukturisasi, 95% milik perbankan internasional, 2,5% publik dan 2,5% milik keluarga," tutur bapak tiga anak ini.

Toh, jerat utang segede gunung ini tak lantas membuatnya bangkrut. Tahun 2001, Grup Bakrie sudah menyelesaikan jerat utang. Pelan,  Ical juga bisa mengambil lagi saham milik keluarga Bakrie.

Salah satu ciri khas kepemimpinannya adalah keberaniannya mengambil risiko, meski tetap dengan hitungan cermat. Lihat saja, meski nyaris bangkrut ia mengajak saudara-saudaranya menjajaki bisnis baru. "Saya bilang ke adik-adik saya, kita harus cari bisnis yang akan langgeng seumur hidup," tuturnya.

Ketika itu, Ical masih belum tahu akan mengambil bisnis apa dengan bekal saham 2,5% itu. Setidaknya ada tiga pilihan bisnis, yakni energi, makanan dan air. Dari ketiga pilihan, keluarga Bakrie sepakat untuk memilih bisnis energi.

Sebenarnya, ketika itu pilihan pertama minyak dan gas. Tetapi, melihat kondisi keuangan, mereka harus puas dengan membeli perusahaan batubara. "Saat itu ada dua perusahaan yang dijual yakni perusahaan minyak dan batubara. Yang batubara dihargai US$ 180 juta, minyak US$ 600 juta," ujarnya.

Alhasil, pilihannya membeli perusahaan batubara, PT Arutmin Indonesia. Ical mengakui, Grup Bakrie tak mengeluarkan duit sepeser pun saat membeli Arutmin. Rupanya, Ical memanfaatkan aset yang akan dibeli untuk jaminan utang. "Karena sudah berproduksi, sehingga bisa menjadi bahan negosiasi dengan bank, " terang Ical.

Pilihan masuk ke bisnis batubara rupanya menjadi awal kebangkitan bisnis Grup Bakrie. Apalagi, kemudian di tahun 2004, Grup Bakrie kembali membeli perusahaan batubara, yang jauh lebih besar. "Produksinya terbesar di dunia," ujarnya.

Kaltim Prima Coal (KPC), nama perusahaan batubara tersebut. Semula, perusahaan ini milik Rio Tinto dan British Petroleum (BP) dengan komposisi kepemilikan saham masing-masing 50%.

Secara spektakuler,  mengejutkan dan memicu kontroversial pada saat itu, Grup Bakrie bermanuver dengan membeli 100% saham KPC. Lagi-lagi, dia menerapkan taktik negosiasi serupa ketika membeli Arutmin. "Saya negosiasi ke sana, awalnya gagal tapi negosiasi kedua berhasil," ujarnya.

Ical juga mencari talangan dana untuk membeli KPC. Ia  menawarkan kerjasama dengan kontraktor dan pemasaran. Akhirnya, Ical berhasil membeli KPC seharga US$ 700 juta dengan pinjaman bank Singapura sebesar US$ 414 juta. Sedangkan US$ 300 juta sisanya ia usahakan sendiri.

Semenjak itu, Grup Bakrie tak terbendung lagi. Lini bisnisnya melebar, dari perkebunan, energi, properti, manufaktur, media, asuransi hingga telekomunikasi.

Nyaris tinggal bisnis bank saja yang belum dimasuki lagi oleh Grup Bakrie. "Kami pernah masuk ke perbankan tapi bangkrut. Untuk sekarang belum mampu," katanya.  

Saat ini, grup usaha ini kembali menghadapi tantangan. Lagi-lagi, setumpuk utang mengadang laju bisnis ini. Akankah kelompok usaha ini bakal lulus dari tantangan itu? Wallahualam. Yang jelas, ia berkeyakinan, setiap masalah bisa dilalui asal fokus menghadapinya.

Di keluarga besar, Ical bak penjaga kekompakan dan penengah. Menurutnya, itulah resep bertahan Grup Bakrie. "Perbedaan pendapat pasti ada, tetapi semuanya bisa diselesaikan dengan baik," katanya.

Ical menjelaskan, dalam menjalankan bisnis, dia dan saudara-saudara berbagi peran. Ical memimpin negosiasi bisnis. Lalu, adiknya, Nirwan Dermawan Bakrie akan menyelesaikan negosiasi. Sementara, Indra Usmansyah Bakrie lebih kepada operasional bisnis.

Ia sadar, tak selamanya kendali bisnis di tangan generasi kedua. Itu sebabnya,  kelompok usaha ini mulai melakukan regenerasi ke tangan generasi ketiga. Menurut Ical, saat ini generasi kedua tidak terlalu banyak berperan di dalam pengambil keputusan perusahaan.

Nirwan, misalnya, lebih mengurus sisi strategic planning. "Untuk kegiatan operasional semua sudah dilakukan oleh manajemen," kata Ical.
Ical memilih putranya, Anindya Novyan Bakrie, untuk mengurus bisnis. Ia berharap, di tangan generasi ketiga, Grup Bakrie terus berkibar dan lebih stabil.

Di tengah kesibukannya, Ical masih menyisakan waktu untuk keluarga. Menurutnya, dirinya harus bisa mengatur waktu, bukan waktu yang mengatur dirinya. Itu kebiasaan lama, bahkan sebelum menikah dengan Tatty Murnitriati. "Badan saya biasakan seperti mesin. Mau tidur kapan saja, saya harus bisa," ujarnya.

Dengan pola hidup disiplin ini, Ical merasa hidup menjadi lebih teratur. Ia juga menerapkan kedisiplinan yang sama pada anak-anaknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×