Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) melakukan audiensi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) pekan lalu guna membahas kebijakan penetapan cukai produk tembakau alternatif sebesar 57 %.
Dalam audiensi tersebut, tim peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, anggota KABAR, Dr. drg. Amaliya, MsSc., PhD memberikan pemaparan penelitian mengenai penggunaan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik atau vape, nikotin tempel, snus, dan produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar sebagai salah satu upaya menekan angka perokok di Indonesia.
Hasilnya, menurut drg. Amaliya, produk tembakau alternatif dinilai memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
“Hal tersebut dapat terjadi karena dalam konsumsinya, produk tembakau alternatif seperti vape menggunakan teknologi yang dipanaskan bukan dibakar. Sehingga, TAR, senyawa karsinogenik berbahaya hasil pembakaran rokok bisa dieliminasi,” jelasnya melalui keterangannya, Rabu (21/2).
Senada dengan drg. Amaliya, perwakilan konsumen KABAR Dimas Jeremia mengatakan, produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar. “Sudah ada 97 % yang beralih dari rokok yang memiliki risiko tinggi ke produk tembakau alternatif yang risikonya lebih rendah,” paparnya.
Mengenai penetapan cukai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Marisi Zainuddin Sihotang menjelaskan bahwa penetapan cukai HPTL diberlakukan pada cairan ekstrak yang berasal dari tembakau, termasuk tembakau hisap dan tembakau hirup.
Oleh karena itu, produk tembakau alternatif yang memenuhi syarat dan definisi dari produk HPTL akan dikenakan penetapan cukai, dikendalikan konsumsinya, dan diawasi peredarannya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Bidang Legal dan Business Development Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), anggota KABAR, Dendy Dwiputra mendukung Ditjen Bea Cukai untuk menetapkan regulasi cukai HPTL, namun tarif sebesar 57 % dianggap dapat mematikan industri.