Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pengusaha pertambangan batubara memprediksikan bisnis tahun ini masih suram. Harga jual batubara yang rendah serta kepastian hukum di industri pertambangan masih menjadi tantangan utama bagi pengusaha batubara di tahun 2015.
Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, memaparkan sejumlah persoalan yang menghambat industri batubara nasional. Pertama, belum ada kepastian hukum untuk jangka panjang. Padahal tingkat pengembalian investasi pertambangan batubara tergolong lama.
Karena itu, menurut Supriatna, industri pertambangan batubara memerlukan jaminan kepastian hukum. Jaminan tersebut harus berlaku adil, baik bagi pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) ataupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Ia mencontohkan, renegosiasi PKP2B dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan pengusaha. Misalnya, pemerintah mewajibkan pemilik PKP2B melaksanakan pengolahan batubara dan peningkatan nilai tambah untuk kepentingan negara.
Sementara pemilik IUP, kata Supriatna, juga harus menghadapi kenaikan tarif royalti batubara. Dia menilai, kenaikan tarif royalti IUP batubara tergolong tinggi.
Sebagai gambaran, Peraturan Pemerintah No 9/2012 tentang Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan royalti IUP batubara antara 3%-7% tergantung kadar kalori. Kini, pemerintah menaikkan royalti IUP batubara menjadi 7%-13,5% tergantung kadar kalorinya.
Hambatan kedua, harga jual batubara merosot, sementara biaya produksi naik. Akibatnya, beberapa pengusaha pemilik IUP dan PKP2B di Jambi dan Kalimantan Selatan menghentikan sementara operasi pertambangannya.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum tambang batubara ilegal. Kondisi ini membuat pasokan berlebih sehingga semakin menekan harga batubara. "Selama ini suplai batubara ilegal bisa mencapai 60 juta ton per tahun," kata Supriatna, dalam diskusi dengan tema Indonesia Mining Outlook 2015, Rabu (28/1).
Kendala keempat, pasar dalam negeri melambat, sementara ekspor batubara dibatasi. Kelima, program peningkatan nilai tambah batubara juga jalan di tempat.
Siasati kelesuan bisnis
Dengan berbagai persoalan tersebut, pengusaha berharap pemerintah lebih serius menata industri batubara nasional. Pemanfaatan batubara untuk kebutuhan pasar lokal juga harus digenjot. Misalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masuk dalam program peningkatan nilai tambah batubara, sehingga mendorong investasi pembangunan PLTU ini.
Singgih Widagdo, Corporate Secretary PT Berau Coal Tbk, mengakui bahwa pelemahan harga batubara makin menekan pebisnis batubara. Akhir Januari ini, harga batubara memang naik. Namun, ia pesimistis bisa naik tinggi seperti dua tahun lalu. "Kami memperkirakan harga masih tetap rendah. Harga acuan batubara (HBA) naik menjadi US$ 80 per ton saja sudah cukup bagus," kata dia.
Per Januari 2015, HBA adalah US$ 63,84 per ton. Angka ini turun 22,05% dibandingkan dengan HBA Januari 2014 yang mencapai US$ 81,9 per ton.
Demi mengantisipasi hal ini, Berau berupaya melakukan efesiensi dan menegosiasi ulang harga dengan kontraktor maupun penyuplai bahan bakar minyak.
Mendengar berbagai keluhan pengusaha batubara, Bambang Tjahjono, Direktur Pengusahaan dan Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya berjanji akan membantu meringankan beban pengusaha. Salah satunya, memangkas izin dari 56 izin menjadi 18 jenis perizinan tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News