Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini pertumbuhan bisnis teknologi digital telah berkembang sangat pesat apalagi di tengah adanya dampak dari pandemi Covid-19. Tren demikian diyakini akan berlanjut dan akan semakin berinovasi hingga beberapa tahun ke depan.
Sementara, saat ini sosok di balik para pendiri (founder) start up digital itu sendiri seperti Bukalapak yang didirikan oleh tiga pendiri yaitu Achmad Zaky, Muhamad Fajrin Rasyid, dan Nugroho Heru Cahyono. Rencananya, Bukalapak bahkan akan listing di bursa pada bulan Agustus mendatang.
Berdasarkan prospektus singkat yang diterbitkan oleh Bukalapak pada Jumat (9/7) lalu, Achmad Zaky Syaifudin memiliki 4.452.515.674 lembar saham atau setara 5,76% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh Bukalapak.
Baca Juga: Telkomsel jadi Investor di Gojek, begini kata pengamat BUMN
Kemudian, Muhamad Fajrin Rasyid menggenggam 2.725.322.633 saham Bukalapak atau setara 3,53%. Adapun Nugroho Heru Cahyono memiliki 2.145.675.938 saham Bukalapak atau setara 2,78%.
Setali tiga uang, miliarder muda juga terdapat pada perusahaan GoTo di mana merupakan perusahaan hasil merger antara Gojek dan Tokopedia. Kekayaan para pendiri dan GoTo seperti Nadiem Anwar Makarim, William Tanuwijaya, Leontinus Alpha Edison, Andre Soelistyo, dan Kevin Bryan Aluwi tersorot telah melonjak signifikan.
Menanggapi hal itu, Pengamat sekaligus Founder IndoTelko Forum, Doni Ismanto Darwin mengatakan tren bertambahnya aset kekayaan para founder tersebut lantaran telah berhasil menaikkan valuasi dari perusahaannya. Ia bilang, setiap valuasi perusahaan yang naik biasanya diikuti dengan seeding fund, termasuk series A, B, atau C.
“biasanya ketika ada yang masuk di putaran ini, kepemilikan saham pasti berkurang bagi yang ga ambil penawaran pendanaan, disana bisa terjadi seed out bagi eksisting pemilik saham. Disinilah biasanya ada margin keuntungan bagi si pemilik saham lama, karena valuasi sebelum round dan sesudah kan berbeda,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Minggu (11/7).
Sehingga ia melihat bahwa hebatnya bisnis digital adalah everybody bisa menjadi somebody, di mana jika punya ide yang kuat, eksekusi yang kuat maka akan memberikan solusi bagi permasalahan di masyarakat, promosi yang bagus dan dukungan pendanaan yang kuat.
“Tapi apakah akan muncul konglomerasi seperti era Salim Grup? saya rasa tidak. Karena kondisi sekarang itu yang konglomerat sebenarnya di digital itu masih dari pemain seperti Facebook, Alibaba, Tencent, Alphabet, dan lainnya. Kalau dilihat anak-anak lokal kita akan susah ketika bicara pendanaan karena ujungnya berhadapan sama geng konglomerat digital global di atas,” kata dia.
Adapun ia juga menilai, berkaca dari perusahaan yang baru saja Merger yakni GoTo, ia bilang kedepannya persaingan para pemain start Up raksasa itu nantinya akan lebih ke arah Payment.
“Lihat saja GoTo dan Bukalapak, mereka memperkuat layanan di Fintech dan Payment. Kenapa disana persaingannya? karena potensi paling besar memang di Payment system, apalagi Indonesia masih rendah inklusi keuangannya,” sambungnya.
Ia menilai kedua pemain ini sekarang sedang dalam tahap membangun engagement dengan layanan dasar. Misal, Gojek dengan layanan logistiknya, Bukalapak dengan marketplace yang ujungnya mau menarik pelanggan ke ekosistem fintechnya
“Dan mereka berdua ini didukung oleh investor global yang juga punya payment system. Jika ini nanti menjadi borderless dan tak ada regulasi yang rigid dari negara, bisa jadi flow uang keluar masuk Indonesia makin tak terkendali. Negara harus hadir mengantisipasi hal-hal ini,” tambahnya.
Untuk itu, Doni melihat Indonesia ini adalah battle ground bagi Alibaba, Tencent, Google, dan Facebook. Ia melihat hebatnya lagi para pemain ini bisa punya saham di semua pemain besar tanpa tersentuh Undang-Undang anti Monopoli. Sehingga jika dibiarkan dan masyarakat makin tergantung dengan layanan digital akan makin sulit mengaturnya.
“Maka saya tak sependapat dengan less regulation untuk pemain-pemain yang sudah matang ini dengan alasan mengembangkan startup, karena pada dasarnya kelas mereka sudah bukan pada startup, tapi perusahaan yang mencari keuntungan, sehingga layak mendapatkan regulasi yang ketat agar konsumen dan negara terlindungi,” tutupnya.
Selanjutnya: Mengulik prospek miliarder baru yang tumbuh dari bisnis start up digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News