Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konsumsi listrik perkapita di Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, China, hingga India.
Pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki memaparkan, secara teori konsumsi listrik tergantung dari sisi permintaan. Permintaan tersebut dimulai dari listrik untuk rumah tangga, listrik dalam proses produksi baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor, dan listrik untuk kebutuhan pemerintah atau belanja publik.
Permasalahan konsumsi listrik di rumah tangga, sangat dipengaruhi oleh penggunaan energi listrik untuk kepentingan konsumsi dan erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan.
"Artinya jika masyarakat pendapatannya bertambah maka pola konsumsi listriknya akan bertambah, dan pendapatan ini ada hubungannya dengan tingkat pendidikan dan penyerapan tenaga kerja," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (4/11).
Yayan mengutip data Indeks Pembangunan Manusia BPS 2020 bahwa rata-rata Tingkat Tamat Sekolah di Indonesia hanya sampai kelas 2 SMP (8.48 tahun). Berdasarkan hal tersebut peningkatan konsumsi listrik melalui peningkatan pendapatan yang lebih baik, relatif sulit karena kesulitan untuk kerja di sektor formal dan memperoleh fixed income yang lebih baik.
Sedangkan, menurut data Human Development Report Tahun 2020, Indonesia berada di bawah Filipina dengan Tingkat Tamat Sekolah yaitu 9.4 tahun, dan Vietnam. Sedangkan Singapura rata-rata Tingkat Tamat Sekolahnya yaitu 11.6 tahun. "Jadi bisa dilihat konsumsi listrik di Indonesia juga relatif sulit naik jika tidak diiringi dengan perbaikan dari sisi pembangunan manusianya," ujarnya.
Mengenai konsumsi listrik proses produksi, Yayan menyoroti sistem listrik di Indonesia masih belum kondusif dari sisi supply dan demand. Dari sisi supply sistem listrik, saat ini belum terintegrasi dengan baik.
Baca Juga: PLTU bakal dipensiunkan, bagaimana dampaknya ke industri batubara?
Yayan melihat, sistem on grid Indonesia masih bersifat parsial dan tidak terhubung dengan baik dengan sistem renewable lainnya seperti geothermal, gas, angin, surya dan lainnya yang dapat mendukung saat peak load dan memberikan subtitusi yang baik.
"Hal ini disebabkan ekosistem pasar listrik Indonesia masih belum efisien. Sehingga cerukan supply listrik masih banyak yang bolong dan menyebabkan kelambanan supply terhadap sistem yang ada," kata Yayan.
Lantas dengan adanya kelambanan supply, permintaan yang tadinya berasal dari PLN berpindah ke Independent Power Producers yang tidak ramah lingkungan dan tidak terkontrol terhadap demand dari listrik.
Poin terakhir, mengenai konsumsi listrik oleh pemerintah Yayan menyoroti soal sebagian besar energi untuk instansi pemerintah masih dari energi fosil. Salah satu strategi untuk meningkatkan permintaan energi yang lebih konkrit adalah dengan menggunakan transportasi publik dengan sistem listrik sehingga dapat memperbaiki demand listrik PLN.
Di tengah masih rendahnya konsumsi listrik di Indonesia, Yayan berpesan, dalam melakukan pemensiunan pembangkit listrik bertenaga batubara harus hati-hati jika tidak diimbangi dengan penataan sistem supply listrik yang mumpuni bagi industri.
"PLN harus menyediakan dengan baik subtitusi ini agar lebih sustainable sehingga tidak meningkatkan System Average Interruption Duration Indeks (SAIDI) atau System Average Interruption Frequency Indeks (SAIFI) yang mengganggu produktivitas industri," ujar Yayan.
Yayan mengatakan, hal yang harus diingat kenapa IPP berkembang pada saat itu, karena SAIDI dan SAIFI PLN masih belum optimal. Investasi transmisi PLN harus digenjot untuk menggantikan sistem yang sudah usang dan kebijakan harga listrik yang lebih kompetitif. Menjaga profesionalisme entitas proses bisnis yang transparan.
Selanjutnya: ADB siap bantu Indonesia & Filipina tutup pembangkit batubara 10-15 tahun ke depan
Mungkin untuk menjamin keberlanjutan ini PLN bisa bermitra dengan swasta untuk membuat sistem backup pasokan listrik yang lebih baik. Transisi phasing out coal power plant ini tidak akan semudah di atas kertas, jika tidak ada insentif harga yang lebih baik dan pasokan supply yang sustainable kebijakan transisi ini akan menjadi bumerang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News