Reporter: Sofyan Nur Hidayat |
JAKARTA. Meski produksi terus meningkat, kualitas film Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi itu dirasakan betul oleh penyelenggara Jakarta Internasional Film Festival (JIFFest) 2010.
Imbasnya, JIFFest kesulitan memilih film Indonesia terbaik yang layak putar dalam ajang Indonesian Feature Film Competition (IFFC), 25 November-5 Desember mendatang. Itu sebabnya, JIFFest hanya memilih delapan dari 78 film Indonesia yang dirilis sejak Oktober 2009 hingga September 2010.
Jumlah itu turun dibanding tahun lalu yang masih bisa mengikutsertakan 15 film untuk berkompetisi. Nauval Yazid, Festival Manajer JIFFest menyatakan, kondisi itu menunjukkan kualitas film Indonesia sangat mengkhawatirkan. Buktinya, kata dia, tidak ada film Indonesia ikut berkompetisi di festival film Internasional terkemuka, seperti di Pusan International Film Festival (PIFF).
Tanda-tanda kemerosotan kualitas juga terlihat dari minimnya film Indonesia masuk box office movie sepanjang tahun 2010. Tema komedi, seks atau horor menyebabkan orang bosan untuk menonton.
Jhony Syafrudin, Ketua Umum gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia mengungkapkan, dua tahun lalu, rata-rata satu film lokal ditonton sekitar 400.000-500.000 orang. Tahun ini, rata-rata satu judul film Indonesia ditonton 150.000-200.000 orang. "Ada yang ditonton 800.000 orang, tapi 5% dari total film yang ada," ungkap dia, kemarin.
Rudi Sanyoto, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) menjelaskan, rendahnya kualitas film Indonesia disebabkan terbatasnya anggaran pembuatan film. Idealnya, jika mengacu pada film box office internasional, bujet yang harus disiapkan untuk membuat sebuah film sekitar US$ 300 juta. "Di Indonesia, budjet produksi satu film rata-rata US$ 500.000," ujar Rudi.
Bioskop minim
Terus terang, kata Rudi, produsen sendiri masih takut memproduksi film berbiaya mahal. Pasalnya, pasar film di Indonesia terbatas, sehingga tidak imbang dengan biaya yang dikeluarkan. Indikasi sempitnya ceruk pasar itu bisa dilihat minimnya jumlah bioskop.
Saat ini, total bioskop di Indonesia hanya sekitar 160. Sebagian besar berada di wilayah Jabodetabek. Sisanya antara lain di Bandung, Surabaya, dan Semarang.
Dari seluruh provinsi di Indonesia, masih terdapat 10 provinsi belum memiliki bioskop, lima provinsi dengan masing-masing dua bioskop dan enam provinsi dengan masing-masing satu bioskop. "Situasi itu memupus harapan munculnya film berkualitas, karena pasar makin terbatas," ungkap Rudi.
Menurut Rudi, jika ingin industri film Indonesia berkembang, mestinya setiap kabupaten atau kota memiliki satu bioskop. Raam Punjabi, Ketua Umum Persatuan Produser film Indonesia (PPFI) mengakui, minimnya jaringan bioskop membuat produsen berpikir seribu kali untuk membuat film berbiaya mahal. "Kalau bioskopnya sedikit, sistem peredarannya tidak akan maksimal," ujar Raam.
Selain itu, menurut Raam, minimnya penulis skenario film andal berandil pada penurunan mutu film lokal. Masalah lain adalah ketatnya persaingan dengan film impor.
Dan, faktanya masyarakat memang lebih memilih film asing ketimbang lokal. Tiap tahun, masyarakat Indonesia menghabiskan US$ 80 juta untuk menonton film Hollywood. Akibatnya, produser film lokal mencari aman dengan memproduksi film berbiaya murah tanpa memandang kualitas.
Juru bicara jaringan bioskop 21, Noorca Masardi mengakui, film yang diputar di bioskop 21 lebih banyak impor ketimbang lokal. Tiap tahun, bioskop 21 memutar 120 film impor, dan hanya memutar 50-80 film lokal. "Produksi film lokal juga terbatas," kata Noorca.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News