Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ketidakpastian pasokan gas menyebabkan industri pupuk lokal tak maksimal berproduksi. Hal ini pula yang mendorong pemerintah memutuskan untuk impor pupuk sebanyak 500.000 ton.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris menilai, kontrak gas antara produsen gas dengan industri manufaktur selama ini memiliki mekanisme yang tidak fleksibel. Akibatnya, industri pupuk merugi karena mereka terus mengalami defisit gas. Sebab, pasokan yang ada lebih untuk memenuhi kontrak pesanan dari negara lain.
"Gas kita memang berlebih. Tapi, kita harus memenuhi kontrak bagaimana pun kondisinya. Ketika terjadi kekurangan gas di dalam negeri, kita tetap ekspor liquid natural gas ke Korea dan kita impor gas dari Qatar," ujar Fahmi, Minggu (15/2).
Selama ini beberapa sumur yang telah mampu berproduksi optimal telah difokuskan memenuhi kontrak ke negara lain. Sementara sumur lain yang diperuntukkan bagi kebutuhan domestik, ada beberapa sumur gas belum bisa menghasilkan gas yang optimal karena minimnya eksplorasi. Contohnya, sumur di Sulawesi Tengah dan Jatim. Padahal, kedua daerah itu memiliki dan menghasilkan gas yang cukup baik.
Contoh nyata ketidakpastian pasokan gas bagi industri pupuk terjadi pada PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Saat ini, PIM hanya berproduksi sesuai pasokan. Padahal, jika dua pabrik PIM beroperasi dengan pasokan yang cukup kapasitas produksinya mencapai 1,2 juta ton. Produksi sebesar ini dapat menyumbang pasokan bagi kebutuhan pupuk nasional.
Data Depperin menyebutkan, akibat kendala gas, utilisasi kapasitas produksi 14 pabrik pupuk di Indonesia pada 2008 hanya 73,7% atau hanya berproduksi sebanyak 5,8 juta ton. Kapasitas terpasang pabrik pupuk padahal mencapai 7,87 juta ton per tahun.
Sadar tentang akar permasalahan di industri pupuk, Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia (DPI) Zaenal Soedjais meminta pemerintah segera merevisi kontrak gas untuk sektor pupuk baik volume maupun harga. "Kenapa pemerintah tidak melakukan revisi atas kontrak gas yang ada dengan menggunakan pasal escape clause. Pasal ini menjadi celah untuk mempertimbangkan kembali volume dan harga gas jika kebutuhan domestik lebih mendesak," ujar Zaenal.
Langkah merevisi kontrak dinilai lebih bijak ketimbang kebijakan impor urea sebanyak 500.000 ton. Revisi kontrak gas menyebabkan industri akan lebih pasti memperoleh pasokan gas sehingga bisa berproduksi optimal. Sedangkan kebijakan impor dinilai hanya menghabiskan anggaran negara. Setidaknya, untuk mengimpor pupuk membutuhkan dana sebesar US$ 125 juta atau setara dengan Rp 1,4 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News