Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konglomerat Indonesia semakin banyak merambah bisnis fasilitas pengelolaan dan pemurnian (smelter). Mereka masuk ke bisnis ini untuk mengimbangi dominasi investor asal China, yang menjadi pemain utama dalam industri hilirisasi di Indonesia.
Menurut data Program Riset Sustainable Development The PRAKASA, dari 248 tungku smelter nikel di Indonesia, 137 tungku terafiliasi dengan investor China. Mayoritas investasi ini, mencapai 99%, terkonsentrasi di Sulawesi, Halmahera, dan Maluku Utara.
Untuk mengatasi dominasi ini, konglomerat lokal mulai mengembangkan smelter. Jusuf Kalla (JK) mengumumkan bahwa proyek smelter PT Bumi Mineral Sulawesi Selatan (BMS) sudah bisa beroperasi, dengan target produksi pabrik pertama mencapai 33.000 hingga 36.000 ton per tahun.
Baca Juga: Penuhi Modal Inti, BPD Ramai-Ramai Masuk KUB
Pembangunan pabrik kedua untuk nikel sulfat sebagai bahan baku baterai mobil listrik sudah mencapai 40% dan diharapkan mulai beroperasi normal akhir 2024.
Selain itu, PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) sedang membangun smelter tembaga. Hingga Maret 2024, kemajuan pembangunan mencapai 88,1%, melebihi target 85,2%.
Smelter ini dijadwalkan selesai konstruksi fisik pada Mei 2024 dan mulai produksi katoda tembaga pertama pada paruh kedua 2024, dengan operasi penuh pada kuartal I-2025.
PT Trimegah Bangun Persada (NCKL) atau Harita Nickel juga sedang membangun smelter HPAL kedua dengan kapasitas 65 ribu ton per tahun, yang diperkirakan beroperasi pertengahan 2024.
Baca Juga: Ramai-Ramai Masuk Energi Hijau
Sementara itu, PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) menargetkan produksi smelter aluminium pada tahun depan dengan kapasitas tahap I sebesar 500.000 ton ingot, yang diharapkan beroperasi penuh pada kuartal IV 2025 atau kuartal I 2026.
PT Sumber Mineral Global Abadi Tbk (SMGA) berencana membangun smelter pada 2026 dengan teknologi terbaru yang mampu meningkatkan kadar nikel hingga 60%, menghasilkan nikel matte.
PT United Tractors Tbk (UNTR), bagian dari Grup Astra, telah mengakuisisi Nickel Industries Limited dan berencana membangun fasilitas HPAL di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi.
Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyatakan bahwa masuknya konglomerat lokal ke bisnis smelter dapat mematahkan dominasi China dan memberikan nilai tambah bagi Indonesia.
Dengan semakin banyaknya konglomerat lokal yang membangun smelter, diharapkan dapat memaksimalkan hilirisasi dari hulu ke hilir, memberikan kontribusi besar bagi ekonomi nasional.
Baca Juga: Kasus Ledakan Smelter Terus Terjadi, Ini Masukan dari Pengamat Energi
Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis menyebutkan bahwa konglomerat tertarik ke bisnis smelter karena lahan tambang di Indonesia semakin habis, sehingga hilirisasi menjadi pilihan terbaik.
Selain itu, mereka memiliki akses ke lahan tambang potensial dan berani membangun smelter melalui aliansi dengan investor berpengalaman.
Bisnis smelter menjanjikan nilai tambah tinggi dan margin keuntungan besar dibandingkan ekspor bahan mentah. Namun, mereka perlu mencermati risiko seperti fluktuasi harga komoditas dan dampak lingkungan. Dukungan kebijakan pemerintah, seperti insentif pajak dan infrastruktur, juga sangat diharapkan untuk mendukung industri ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News