Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para pelaku usaha sektor manufaktur kembali kelimpungan menghadapi tren pelemahan kurs rupiah yang terjadi menjelang akhir tahun 2024.
Belakangan ini kurs rupiah bergerak fluktuatif di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Mengutip Bloomberg, rupiah berada di level Rp 15.881 per dollar AS pada Senin (25/11) atau melemah 0,04% dibandingkan perdagangan Jumat (22/11) lalu. Bayang-bayang kekhawatiran rupiah yang kembali terjebak ke level Rp 16.000 per dollar AS seperti beberapa bulan lalu kembali muncul di benak pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, pelemahan rupiah membuat beban pembelian bahan baku/penolong impor membengkak. Namun, tidak serta para pelaku usaha pengguna bahan baku/penolong impor mencari alternatif di dalam negeri.
Faktanya, banyak produk bahan baku/penolong impor yang tidak bisa disubtitusi di dalam negeri. Kalaupun ada, belum tentu pasokan bahan baku/penolong tersebut efisien atau berdaya saing dari sisi kualitas maupun harga.
Baca Juga: Rupiah Ditutup Melemah Tipis ke Rp 15.881 Per Dolar AS pada Hari Ini (25/11)
"Selama isu struktural rantai pasok dalam negeri belum dibenahi, produsen hanya bisa melakukan strategi efisiensi produk atau meningkatkan harga jual," kata Shinta, Senin (25/11).
Apindo memperkirakan sulit bagi Indonesia untuk menciptakan penguatan kurs jika tidak ada peningkatan yang signifikan terhadap kinerja ekonomi nasional. Indonesia juga cukup rentan karena proyeksi penerimaan fiskal melemah, sehingga ruang gerak pemerintah lebih terbatas dalam melakukan intervensi atas pergerakan kurs.
Penyesuaian harga
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, pelemahan rupiah jelas menjadi pukulan telak bagi industri makanan-minuman (mamin). Apalagi, harga sejumlah bahan baku impor juga naik sepanjang tahun ini. Akibatnya, harga pokok produksi (HPP) produk-produk mamin mengalami kenaikan.
“Biaya logistik juga ikut naik, karena aktivitas impor dan ekspor produk mamin menggunakan mata uang dollar AS,” ujar dia, Senin (25/11).
Gapmmi mengaku, beberapa produsen mamin bakal ada yang terpaksa mengambil kebijakan penyesuaian harga jual untuk diberlakukan pada tahun depan. Hal ini dilakukan lantaran mereka tidak menaikkan harga jual sepanjang tahun 2024.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diproyeksikan 5,01% pada Kuartal IV 2024
Jika harga jual naik, maka produsen mamin sudah harus bersiap dengan risiko berkurangnya volume penjualan mengingat kondisi daya beli masyarakat belum stabil hingga kini. Opsi lain yang bisa ditempuh produsen adalah melakukan perubahan ukuran produk atau kemasan sebagai bentuk efisiensi bisnis.
Gapmmi pun khawatir kurs rupiah bisa terus melemah hingga Rp 16.000 per dollar AS jika pemerintah tidak memiliki strategi komprehensif untuk memperkuat fundamental ekonomi dalam negeri. Gapmmi juga berharap pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12% mulai 1 Januari 2025 agar kinerja industri mamin tidak makin terpuruk.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo) Andy Arif Widjaja menilai, kurs rupiah mestinya tidak berfluktuasi terlalu tajam karena pelaku usaha butuh kestabilan seiring banyaknya bahan baku pendingin refrigerasi yang perlu diimpor, seperti kompresor. Penguatan dollar AS tentu akan mengerek harga jual bahan baku impor.
Saat ini, para produsen fokus melakukan proses lindung nilai (hedging) terhadap dollar AS untuk meminimalisir risiko pelemahan rupiah lebih lanjut. Produsen juga terus melakukan efisiensi dan masih menahan harga jual mengingat kondisi pasar cenderung lesu akibat deflasi dan pelemahan daya beli konsumen.
"Namun, jika pelemahan kurs terus terjadi, maka opsi terakhir adalah menaikkan harga jual," imbuh dia, Senin (25/11).
Direktur Eksekutif Indonesia Packaging Federation (IPF) Henky WIbawa menyatakan, pelemahan kurs rupiah sebenarnya merupakan fenomena yang selalu bisa disikapi dengan waspada oleh industri kemasan. Lagi pula dollar AS juga menguat terhadap banyak kurs lainnya di dunia.
Pengusaha kemasan pun tidak hanya berhadapan dengan tantangan kurs saja, melainkan juga harga bahan baku biji plastik yang selalu berfluktuasi.
"Biasanya kami selalu menekan biaya proses pengemasan dengan efisiensi, kontrak yang terukur dengan pasokan bahan baku, serta penggunaan teknologi yang memberikan nilai tambah," pungkas dia, Senin (25/11).
Baca Juga: PPN Bakal Naik jadi 12% Tahun Depan, APINDO Minta Pemerintah Kaji Ulang
Selanjutnya: Baterai Lithium Dharma Polimetal (DRMA) Dapat Sertifikat SNI Pertama di Indonesia
Menarik Dibaca: Promo Es Krim Alfamart s/d 30 November 2024, Es Krim Joyday-Glico Beli 2 Lebih Murah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News