kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Lagi, ekspor CPO ke Eropa terancam


Rabu, 18 Januari 2017 / 14:34 WIB
Lagi, ekspor CPO ke Eropa terancam


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Pasar ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa memang menjanjikan. Apalagi, selama ini, negara-negara di benua biru tersebut merupakan konsumen minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India.

Berdasarkan data tahun 2015,  kebutuhan minyak sawit Uni Eropa sebesar 6,3 juta ton, sekitar 4,23 juta ton atau 65,15% berasal dari Indonesia. Namun, besarnya prospek bisnis ini sebanding dengan tantangan yang mesti dihadapi eksportir minyak sawit.

Berulang kali minyak sawit menuai kampanye negatif seperti isu ramah lingkungan dan kesehatan dengan tujuan untuk membatasi peredarannya di Uni Eropa. Maklum, selama ini, Uni Eropa adalah produsen minyak nabati lain, seperti minyak biji bunga matahari, kanola, dan kedelai. Namun, harga ketiga minyak nabati ini jauh di atas minyak sawit.

Memasuki tahun 2017, kampanye negatif terhadap sawit tak juga berhenti. Yang terbaru adalah aksi boikot sejumlah negara Uni Eropa terhadap Nutella, produk selai milik Ferrero, perusahaan makanan asal Italia. Hal ini lantaran Ferrero masih menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku utama.

Kisruh ini merupakan buntut dari pernyataan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) pada Mei 2016 lalu bahwa minyak kelapa sawit bersifat karsinogenik dibandingkan minyak lainnya saat dipanaskan pada suhu di atas 200 derajat celcius. Artinya, penggunaan minyak kelapa sawit dalam pengolahan makanan bisa memicu kanker.

Namun, EFSA tidak melarang konsumen untuk mengonsumsinya dan merekomendasikan studi lanjutan untuk menakar tingkat risiko karsinogenik.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengatakan, kampanye anti sawit di Uni Eropa bisa terus terjadi karena sebagian besar masyarakat di sana telah termakan isu kesehatan tentang produk makanan yang menggunakan sawit. "Kondisi sekarang ini tidak mudah bagi para pelaku industri kelapa sawit," ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (17/1).

Produk non-pangan

Sahat mengaku khawatir bahwa semakin masifnya kampanye negatif terhadap sawit bisa menurunkan konsumsi minyak sawit yang otomatis berdampak pada ekspor. Pada tahun 2016 lalu, ekspor minyak sawit Uni Eropa hanya 3,3 juta ton atau turun drastis dari tahun 2015.

Sahat menilai, ekspor minyak sawit ke Uni Eropa sebagai bahan baku makanan seperti tidak lagi relevan dengan banyaknya isu negatif. Makanya, para eksportir sawit akan mendorong ekspor minyak sawit dalam bentuk biodiesel atau oleochemical untuk industri non pangan.

Strategi inilah yang akan dicoba GIMNI untuk tetap eksis menembus pasar Uni Eropa yang dikenal sebagai konsumen yang rumit dan kritis.
Selain itu, Sahat bilang, GIMNI juga akan mencari pasar alternatif apabila pasar Uni Eropa tetap tak bersahabat dengan minyak sawit di tahun ini, yakni dengan menyasar pasar baru di Timur Tengah dan Afrika.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengklaim sudah mempelajari kondisi terkini pasar minyak sawit di Uni Eropa. Namun, ia membantah soal hasil penelitian yang menyebut minyak sawit menimbulkan potensi kanker.

Meski begitu, Gapki belum menyusun strategi khusus untuk menangkal kampanye negatif yang berkembang saat ini. "Kami akan melakukan penelitian tentang hal tersebut. Selama belum terbukti benar, produksi minyak sawit ke Uni Eropa tetap jalan seperti biasa, tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×