kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Lahan perkebunan sawit bukan dari kawasan hutan


Senin, 20 Maret 2017 / 18:27 WIB
Lahan perkebunan sawit bukan dari kawasan hutan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Kebijakan diskriminatif Parlemen Eropa yang menyatakan perkebunan sawit merupakan penyebab deforestasi hutan di Indonesia dibantah sejumlah kalangan di dalam negeri.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa mengatakan, lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan. Dari hasil penelitian yang dilakukan bersama timnya pada 2016 di delapan kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat, diketahui bahwa lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan.

Kebun-kebun tersebut berada di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelelawan, dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau. Yanto memaparkan, saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan.

Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebanyak 46.372,38 hektare (ha), sebanyak 68,02% status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL), 30,01% berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% berasal dari hutan produksi.

Adapun status lahan pada kebun sawit rakyat yang diamati seluas 47,5 ha, sebanyak 91,76% status lahannya sudah bukan kawasan hutan saat areal tersebut dijadikan kebun kelapa sawit. “Hanya 8,24% saja yang masih berstatus kawasan hutan atau areal peruntukan kehutanan (APK),” ujar Yanto, Senin (20/3).

Menurut Yanto Santosa, munculnya tudingan itu karena selama ini terjadi perbedaan terminologi definisi soal deforestasi. Menurut pemahaman orang Eropa dan LSM asing, deforestasi adalah membuka lahan yang memiliki tutupan pohon. “Jadi yang namanya deforestasi, seandainya kita punya hutan atau tanaman berkayu banyak, kalau itu dibuka, itu mereka sebut deforestasi,” katanya.

Sementara itu Anggota Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Petrus Gunarso mengatakan berdasarkan penelitiannya, lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang saat ini mencapai sekitar 11 juta ha paling banyak berasal dari bekas kebun karet.

Konversi kebun karet menjadi kebun sawit terjadi karena harga getah karet yang anjlok, sementara harga tandan buah segar (TBS) sawit jauh lebih menguntungkan petani. "Makanya saat ini luas kebun karet kita menyusut tajam dan sekarang luasnya nomor empat dunia karena banyak petani karet yang mengkonversi kebun karetnya ke sawit," kata Petrus.

Kebun sawit di Indonesia, kata Petrus, juga berasal hutan yang terdegradasi yang memang oleh pemerintah dialokasikan untuk kawasan non hutan. Asal usul kebun sawit lainnya berasal dari areal penggunaan lain (APL) alias areal bukan kawasan hutan yang semula masih berhutan. Kawasan APL ini memang secara hukum di Indonesia diperbolehkan untuk digunakan untuk kepentingan non hutan.

Diketahui, ekspor kelapa sawit Indonesia kembali mendapat hambatan dari Uni Eropa (UE). Hasil voting Anggota Parlemen Eropa menyatakan sawit merupakan penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah hak asasi manusia, standar sosial yang tidak patut, dan masalah tenaga  kerja anak.

Voting yang dilakukan Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat dan  Keamanan Pangan itu menyatakan setuju dengan laporan yang diajukan tersebut dengan suara 56 berbanding 1.  Meskipun hasil voting tersebut masih akan diangkat pada sidang pleno tanggal 3-6 April mendatang, implikasi dari laporan tersebut bisa berdampak pada semakin sulitnya ekspor sawit ke Eropa.

Apalagi, penggunaan minyak sawit dari program biodiesel di wilayah itu pada 2020 kemungkinan diperketat dengan  diterapkannya satu sistem sertifikasi minyak sawit Eropa.

Menanggapi hasil voting tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, voting  tersebut merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama  Indonesia-EU, didasarkan pada laporan yang tidak benar.

“Ini merupakan  bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang," ujar Bayu Krisnamurthi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×