kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,64   6,79   0.75%
  • EMAS1.395.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.17%
  • RD.CAMPURAN 0.09%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.03%

Lawan Kebijakan Anti Karbon, Indonesia Harus Segera Mengesahkan RUU EBT


Kamis, 04 Juli 2024 / 20:31 WIB
Lawan Kebijakan Anti Karbon, Indonesia Harus Segera Mengesahkan RUU EBT
ILUSTRASI. Petugas melakukan perawatan panel surya atap di gedung kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Rabu (12/6). Kementerian ESDM menetapkan kuota Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk tahun 2024 ditetapkan sebesar 901 megawatt (MW), 2025 sebesar 1.004 MW, 2026 sebesar 1.065 MW, 2027 sebesar 1.183 MW, dan 2028 sebesar 1.593 MW. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pengusaha dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dapat dirasakan masyarakat luas. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/12/06/2024


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ahmad Heri Firdaus Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan Indonesia bisa melawan dan tidak terpengaruh atas kebijakan antikarbon atau Carbon Border Adjusment Mechanism (CBAM) jika Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) segera disahkan pemerintah. 

"Salah satu caranya adalah dengan cepat ya, segera harus disahkan, selesai (RUU EBET) ini. Karena posisi EBET kan akan semakin tinggi dan strategis terhadap khususnya terhadap industri nasional," ungkap Ahmad saat dihubungi Kontan, Kamis (04/07). 

Dengan disahkannya UU ini, Indonesia akan memiliki kewajiban untuk melakukan atau substitusi antara sumber energi fosil dan terbarukan sehingga memiliki nilai lebih dipasar global.

"Inikan akan (CBAM) dilakukan 1-2 tahun lagi, kalo kita bisa melakukan setidaknya mengurangi atau inovatif terhadap penggunaan sumber energi. Selama ini kan ada industri-industri yang menggunakan sumber energi dari batu bara, dimana ini masih menghasilkan emisi. Misalnya industri baja kita, emisinya masih tinggi, maka akan dikenakan tarif tambahan dari CBAM ini," jelasnya. 

Baca Juga: Kebijakan Anti Karbon Segera Berlaku, Emiten Baja Ini Lakukan Sejumlah Antisipasi

Ia menambahkan tarif tambahan ini adalah kompensasi bagi negara-negara eksportir yang masih menghasilkan emisi sehingga harus membayar lebih tinggi.

"Ini potensi merosotnya daya saing kita di pasar Uni Eropa, terutama yang paling santer baja-besi, semen dan pupuk. 

Karena nanti mereka akan kasih tarif yang berbeda-beda. Misalnya ke Indonesia tinggi, ke Vietnam rendah. Tergantung apalagi kalau kita dikasih yang mahal, daya saing kita jadi merosot karena harga (barang) nya mahal," kataya. 

Ia menambahkan, keseriusan pemerintah dalam menggodok RUU EBET sangat diperlukan untuk masa depan industri Indonesia.

"Intinya kita harus tau metode tracing Uni Eropa ini, karena ini cara mereka menilai dalam memberikan tarif CBAM ini.Kalau kita tidak ramah lingkungan, otomatis kita kalah karena yang ramah lingkungan tarifnya gak ada atau kalaupun ada kecil sekali. Jadi bersaingnya bukan hanya kualitas lagi tapi kualitas sumber energi," tutupnya.

Selanjutnya: Kinerja Medikaloka Hermina (HEAL) Didukung Rumah Sakit Baru dan Program JKN

Menarik Dibaca: 30 Ucapan Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram yang Jatuh 7 Juli 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×