Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nasib pabrik pupuk PT ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) masih terkatung-katung. Pasalnya, calon pembeli, yakni PT Bumi Persada dan konsorsium asal China yang memenangi tender dua tahun lalu, hingga kini belum menggelontorkan dana sebesar Rp 509 miliar sesuai kesepakatan.
Padahal, September 2008 lalu, konsorsium tersebut sudah melakukan sendiri proses audit dalam rangka proses administrasi pengalihan AAF.
Menurut Johan Unggul, mitra lokal Bumi Persada, seharusnya proses pengambilalihan itu selesai pada akhir 2008, dan mencapai titik penyelesaian akhir pada Maret 2009. Namun, "Kami masih terkendala masalah legal yang belum selesai," ujar Johan.
Masalah legal yang membuat investor China belum membayar transaksi tersebut, menurut Johan, seperti Akta Guna Bangunan (AGB) yang belum beres. "Pengaruh krisis ekonomi juga ada," imbuh Johan.
Meski begitu, Johan buru-buru membantah bahwa krisis keuangan membuat investor ragu-ragu mengambil alih AAF. Johan bilang investor tetap menunggu terlebih dahulu penyelesaian seluruh dokumen. "Kan ibarat membeli mobil, kalau BPKB belum keluar, pembeli belum mau membayar," katanya. Ia menambahkan, legalitas itu mengikat keuangannya. Namun ia memastikan bahwa masalah legalitas tersebut bakal rampung paling lambat Desember 2009.
Tolak penurunan harga
Deputi Menteri Koordinator Ekonomi Bidang Industri dan Perdagangan Eddy Putra Irawady menilai lambannya proses legalitas AAF sebatas masalah teknis, bukan terkait hal yang substansial. "Karena dari pihak pemerintah sudah menyetujui untuk AAF dijual," ungkap Eddy.
Meski begitu, Eddy menjelaskan, bila ternyata konsorsium asal China tersebut berniat melakukan penurunan harga, pemerintah tentu saja menolak. "Kami bisa lakukan negosiasi lagi. Tapi kalau harganya turun, lebih baik kami cari pembeli baru saja," ujarnya enteng.
Beberapa waktu lalu Johan pernah mengatakan bahwa aset AAF perlu diaudit lagi karena sudah banyak yang hilang dan rusak. Konsorsium pembeli AAF tersebut menawar aset AAF sekitar Rp 509 miliar dan bila ditambah dengan pajak-pajak bisa mencapai Rp 600 miliar.
Keterlambatan pembayaran oleh konsorsium toh tidak berpengaruh pada karyawan. Pasalnya, menurut Ketua Serikat Pekerja AAF Marwan Yahya, seluruh karyawan AAF sudah mendapat pesangon.
Said Didu, Sekretaris Menteri Negara BUMN tidak mau berkomentar banyak tentang masalah AAF ini. Selain karena AAF bukan BUMN, ia juga mengaku tidak tahu mengenai detil kontrak konsorsium tersebut dengan tim likuidator.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) AAF 17 September 2005 memutuskan melikuidasi AAF karena tidak mungkin dapat pasokan gas lagi dari ExxonMobil. Perusahaan ini sudah tidak beroperasi sejak tahun 2003.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News