Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Restrukturisasi utang dinilai menjadi langkah paling realistis untuk memulihkan kesehatan keuangan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) setelah perusahaan pelat merah ini terbebani proyek-proyek besar pemerintah dan merosotnya perolehan kontrak baru.
Sejak era percepatan pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, BUMN karya menjadi ujung tombak pelaksanaan berbagai proyek strategis nasional (PSN).
Tak hanya berperan sebagai kontraktor, banyak di antaranya juga menanamkan modal dalam proyek-proyek tersebut.
Baca Juga: Rilis Darion, Wuling Fokus Bidik Pangsa Pasar MPV Elektrifikasi
Dampaknya, sejumlah perusahaan kini menghadapi tekanan keuangan yang berat termasuk WIKA, yang tengah berjuang menata ulang kewajiban agar tetap dapat beroperasi dan bertahan.
WIKA tercatat menanggung beban besar dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), dengan kewajiban penyertaan modal hampir Rp12 triliun dan beban bunga pinjaman sekitar Rp2 triliun per tahun.
Selain itu, perusahaan juga menghadapi kewajiban pembayaran bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo pada Februari 2025.
Kondisi keuangan WIKA semakin tertekan seiring penurunan anggaran infrastruktur pemerintah pada 2025.
Baca Juga: Wuling Pastikan Harga Darion Tetap Bersaing Meski Diskon Awal Usai
Hingga September 2025, kontrak baru yang diraih hanya mencapai Rp6,19 triliun, anjlok sekitar 60% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp15,58 triliun.
Penjualan pun turun 27,55% menjadi Rp9,09 triliun, dari sebelumnya Rp12,54 triliun.
Dampak penurunan tersebut terasa pada arus kas operasi yang mengalami defisit Rp1 triliun, jauh memburuk dibanding defisit Rp218,9 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, restrukturisasi menjadi langkah yang tak terelakkan agar WIKA dapat kembali sehat.
Baca Juga: Ini Strategi dan Prospek Kinerja Krakatau Steel (KRAS) Pasca Raih Laba Bersih
“Mau tidak mau, utang WIKA harus disesuaikan. Ini sejalan dengan rencana restrukturisasi utang ke China yang bisa sampai 60 tahun. Jadi restrukturisasi memang menjadi alternatif agar WIKA bisa bertahan,” ujar Tauhid dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).
Menurutnya, restrukturisasi juga perlu diiringi penyesuaian suku bunga pinjaman, agar perusahaan benar-benar mampu memenuhi kewajiban keuangan.
“Kalau restrukturisasi dilakukan, bunganya seharusnya diturunkan. Jangan sampai bebannya justru makin berat. Kalau bunganya tetap tinggi, masalah baru bisa muncul,” jelasnya.
Tauhid menambahkan, selain restrukturisasi, dukungan pemerintah untuk proyek baru yang menguntungkan juga sangat dibutuhkan.
“Kalau untuk proyek kereta cepat saya kira sudah tidak mungkin, tapi untuk proyek baru infrastruktur masih bisa. Itu penting agar WIKA dapat menutup kerugian yang ada,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai, keberhasilan restrukturisasi WIKA kini bergantung pada peran Danantara, lembaga pengelola BUMN hasil transformasi pasca pembubaran Kementerian BUMN.
Baca Juga: Jababeka (KIJA) Optimistis Raih Targat Marketing Sales Rp 3,5 Triliun Tahun Ini
Menurut Yayat, penyehatan WIKA dapat ditempuh melalui konsolidasi antar BUMN konstruksi untuk meningkatkan efisiensi dan memperkuat permodalan.
“Kalau dilikuidasi jelas berat. Tapi opsi penggabungan beberapa badan usaha bisa menjadi jalan tengah untuk penyehatan,” ujarnya.
Dengan restrukturisasi yang matang dan dukungan kelembagaan dari Danantara, WIKA diharapkan dapat kembali memperkuat likuiditas, menjaga keberlanjutan usaha, dan terus berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Selanjutnya: Penjualan Air Bersih Nusantara Infrastructure Rp 79,98 miliar per September 2025
Menarik Dibaca: Tayang Besok, Film Kuncen Hadirkan Misteri Gunung Merapi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













