Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Pratama Guitarra
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian atau smelter (AP3I) menyatakan enggan membeli bijih nikel kadar rendah kepada penambang lokal. Saat ini, smelter lokal itu memilih untuk membeli bijih nikel ke luar negeri.
Hal itu dikarenakan, smelter lokal enggan membeli melalui Harga Patokan Mineral (HPM) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020 yang di dalamnya mengatur tentang tata niaga nikel domestik yang mengacu pada HPM. Khususnya untuk harga bijih nikel kadar rendah.
Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo meminta kepada penambang nikel kadar rendah untuk tidak menyalahkan smelter lokal perihal pilihan pembelian bijih nikel ke luar negeri.
Sebab, smelter lokal lebih memilih harga yang mengacu kepada London Metal Exchange (LME) yang cenderung mengikuti harga baik naik maupun turun. “Jangan salahkan kalau smelter lokal beli dari luar. Itulah kendalanya jika harga bijih nikel dipatok,” terangnya kepada Kontan.co.id, Selasa (23/6).
Ia juga menduga bahwa patokan harga dalam HPM itu atas dasar persetujuan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) tanpa persetujuan dari smelter lokal.
“Mau menentukan harga semau mereka berdua. Padahal harga komoditas mineral sudah ditentukan melalui LME yang selalu berubah-ubah. Tapi mereka tidak peduli, pokoknya sudah mematok harga ya sudah,” tandasnya.
Sebelumnya APNI meminta kepada pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas kepada pemerintah. Hal itu karena bijih nikel kadar rendah tidak diserap oleh smelter lokal lantaran tidak sepakat dengan HPM.
Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, tata niaga dan harga nikel domestik masih belum berjalan. Pasalnya, smelter lokal masih belum menerapkan ketentuan dalam Permen 11/2020.
"Smelter lokal tidak mau menerima harga bijih nikel sesuai HPM. Maka kami para penambang bijih nikel nasional meminta pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas,” katanya kepada Kontan.co.id, Senin (22/6).
Meidy memberikan gambaran, mengacu HPM sebagaimana Permen ESDM No. 11 tahun 2020, harga bijih nikel untuk kadar 1,8% secara Free on Board (FOB) semestinya bisa menyentuh US$ 28,93 per wet metric ton (wmt) di bulan Juni ini. Bahkan jika transaksi menggunakan skema Cost, Insurance, and Freight (CIF) harganya bisa sampai US$ 34 per wmt.
Jika merujuk pada pasar internasional, sambungnya, harga bijih nikel kadar 1,8% bisa mencapai US$ 70 per wmt secara CIF. Namun, kontrak masih berdasarkan business to business dan smelter lokal masih menghargai bijih nikel kadar 1,8% senilai US$ 27 per wmt.
Oleh sebab itu, Meidy mengungkapkan, meski saat ini aktivitas pertambangan sudah mulai normal seiring dibukanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah pertambangan, tapi sejumlah perusahaan bijih nikel yang menambang bijih nikel kadar rendah masih menahan penjualan ke smelter lokal.
"Karena smelter lokal tetap tidak mau melakukan kontrak dengan harga yang ditetapkan pemerintah melalui Permen ESDM No.11 tahun 2020 tentang HPM,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News