kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.923.000   4.000   0,21%
  • USD/IDR 16.275   35,00   0,22%
  • IDX 7.199   10,61   0,15%
  • KOMPAS100 1.051   2,03   0,19%
  • LQ45 818   1,46   0,18%
  • ISSI 226   0,79   0,35%
  • IDX30 428   0,31   0,07%
  • IDXHIDIV20 508   3,38   0,67%
  • IDX80 118   0,22   0,19%
  • IDXV30 121   1,20   1,00%
  • IDXQ30 140   0,04   0,03%

Menakar Kepentingan Industri Baja Nasional dalam Akuisisi U.S. Steel


Senin, 26 Mei 2025 / 11:10 WIB
Menakar Kepentingan Industri Baja Nasional dalam Akuisisi U.S. Steel
ILUSTRASI. REUTERS/Aly Song. Menurut pengamat, dinamika U.S. Steel menyodorkan pelajaran penting bagi Indonesia yang sedang berupaya mengejar industrialisasi menuju 2045


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketika raksasa baja Amerika Serikat, U.S. Steel, hendak diakuisisi perusahaan asing, pemerintah AS langsung turun tangan. Bukan karena nilainya semata, tapi karena makna strategisnya. 

Di tengah gempuran liberalisasi ekonomi global, Amerika menunjukkan bahwa negara tetap punya hak veto ketika industri strategis dipertaruhkan.

Pertanyaannya: bagaimana dengan Indonesia?

U.S. Steel, perusahaan yang berdiri sejak 1901 dan pernah menjadi simbol supremasi manufaktur AS, secara resmi menerima tawaran akuisisi senilai USD 14,9 miliar dari Nippon Steel asal Jepang pada akhir 2023. 

Namun, alih-alih berjalan mulus, rencana tersebut justru memicu reaksi keras dari dua tokoh politik utama AS: Presiden Joe Biden dan Donald Trump dua kutub berbeda yang kali ini kompak menolak.

Baca Juga: Jepang Berencana Gelontorkan Stok Beras, Turunkan Harga Jadi 2.000 Yen per 5 Kilogram

Biden menyebut industri baja domestik sebagai bagian dari "prioritas keamanan nasional." Trump bahkan berjanji memblokir akuisisi itu jika kembali terpilih, yang kemudian ia penuhi usai dilantik pada Januari 2025. 

Trump kemudian mengaktifkan Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS) untuk meninjau ulang transaksi ini, mempertegas posisi negara sebagai pengendali atas aset industri vital.

“Ini menunjukkan bahwa dalam sektor strategis, logika pasar tidak berdiri sendiri. Negara tetap berhak memutuskan,” ujar Widodo Setiadharmaji Tenaga Ahli Industri dan pengamat sektor baja dan pertambangan, Senin (26/5).

Menurut Widodo, dinamika U.S. Steel menyodorkan pelajaran penting bagi Indonesia yang sedang berupaya mengejar industrialisasi menuju 2045. Salah satunya: pentingnya kehati-hatian dalam membuka akses kepemilikan asing, khususnya di sektor strategis seperti baja.

Saat ini, Indonesia belum memiliki lembaga seperti CFIUS yang secara khusus menilai aspek keamanan nasional dari investasi asing. Keterbukaan investasi ditetapkan melalui Daftar Positif Investasi (DPI), namun tidak ada mekanisme evaluasi lanjutan yang mempertimbangkan risiko strategis lintas sektor.

“Ketika sektor sudah terbuka, investor asing bisa masuk penuh tanpa perlu menilai apakah investasinya bisa mempengaruhi kemandirian industri atau tidak,” ujar Widodo.

Widodo menilai bahwa keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Krakatau Steel harus diperkuat sebagai jangkar kepemilikan nasional di sektor vital. Ia mencontohkan bagaimana Indonesia pernah menolak akuisisi Krakatau Steel oleh Mittal Steel pada awal 2000-an.

“Itu bukan hanya keputusan bisnis. Itu adalah keputusan strategis untuk memastikan negara tetap punya kendali,” ujarnya.

Namun untuk menjalankan peran strategis ini secara efektif, menurut Widodo, BUMN tidak bisa disamakan dengan perusahaan swasta. Pemerintah harus menempatkan mereka sebagai pelaksana kebijakan industrialisasi, bukan semata pencetak laba jangka pendek.

Widodo mengusulkan Indonesia mengembangkan mekanisme pengawasan investasi asing yang tidak hanya berbasis kuantitatif, tapi juga mempertimbangkan aspek strategis. Mekanisme tersebut, meski tidak harus meniru mentah-mentah model CFIUS, dapat dirancang sesuai kebutuhan nasional dengan koordinasi lintas kementerian.

“Evaluasi atas investasi strategis harus memadukan aspek intelijen, geopolitik, teknologi, hingga lingkungan,” ungkapnya.

Kasus U.S. Steel menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi memiliki batas. Ketika kepemilikan industri menyangkut pertahanan, rantai pasok, atau kemandirian nasional, negara bukan hanya boleh campur tangan tetapi wajib hadir.

“Bagi Indonesia, ini bukan soal menolak asing, tetapi menempatkan kendali nasional sebagai prioritas dalam sektor-sektor yang berdampak sistemik. Negara tetap panglima, bukan sekadar regulator,” tutup Widodo.

Baca Juga: Dari Cilegon ke Hanoi, Strategi Krakatau Steel (KRAS) Menjadi Pemain Regional

Selanjutnya: UMR Lebih Rendah, Produsen Plastik Panca Budi Idaman (PBID) Bangun Pabrik di Boyolali

Menarik Dibaca: UMR Lebih Rendah, Produsen Plastik Panca Budi Idaman (PBID) Bangun Pabrik di Boyolali

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×