Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha di industri kimia nasional masih harus berjibaku menghadapi sejumlah tantangan besar.
Salah satu yang paling menonjol adalah lonjakan bahan dan barang impor, terutama dari China, yang terus membayangi kinerja sektor ini.
Sekretaris Jenderal Indonesia Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan, arus bahan kimia impor asal China meningkat signifikan pascapandemi Covid-19.
Baca Juga: Menakar Ambisi Indonesia Bebas Impor Solar Lewat Biodiesel
Ia mencatat, impor salah satu jenis bahan petrokimia dari Negeri Tirai Bambu melonjak hampir tiga kali lipat sejak 2023.
"Volume impor naik dari sekitar 50.000 ton pada 2023, kemudian meningkat menjadi 80.000 ton pada 2024. Tahun ini kami perkirakan bisa mencapai 200.000 ton," ungkap Fajar kepada Kontan.co.id, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, lonjakan tersebut tak lepas dari dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Imbas dari ketegangan itu, industri kimia China mencari pasar alternatif seperti Indonesia untuk mempertahankan tingkat utilisasi produksi di atas 80%.
“Mereka ingin menjaga utilisasi tinggi. Jadi pasar seperti Indonesia menjadi sasaran,” ujarnya.
Baca Juga: Bahlil Sebut 45.000 Sumur Rakyat Bakal Tambah Produksi Minyak Mulai Desember 2025
Selain itu, Fajar menilai daya saing produk China semakin kuat karena didukung penguasaan teknologi pengolahan bahan baku petrokimia.
Negeri tersebut tak hanya mengandalkan minyak bumi dan nafta, tapi juga telah mengembangkan teknologi berbasis batubara (coal to chemical) yang efisien.
Akibatnya, industri kimia nasional harus menghadapi persaingan pasar yang kian ketat.
“Kalau pemain lokal harus bersaing dengan produk impor, kinerjanya akan tertekan. Meski begitu, ada juga yang masih bertahan karena tidak langsung bersaing atau punya pasar ekspor yang stabil,” jelasnya.
Baca Juga: PNBP Sektor ESDM Baru Capai Rp 200,66 Triliun, 78,74% dari Target APBN 2025
Kapasitas Produksi Belum Memadai
Pemerintah menyadari bahwa ketergantungan terhadap impor masih menjadi tantangan serius.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memaparkan, kebutuhan bahan kimia nasional pada 2024 mencapai lebih dari 53 juta ton per tahun, di mana 72% di antaranya berbasis migas dan batubara.
Namun, kapasitas produksi dalam negeri belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga nilai impor petrokimia mencapai sekitar US$ 11 miliar per tahun dan diproyeksikan meningkat sekitar 10% setiap tahun.
Baca Juga: Kementerian ESDM Gelontorkan Rp 4,4 Triliun untuk PLN pada Tahun 2025













