kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.398.000   2.000   0,08%
  • USD/IDR 16.720   -25,00   -0,15%
  • IDX 8.394   22,17   0,26%
  • KOMPAS100 1.163   4,71   0,41%
  • LQ45 846   4,70   0,56%
  • ISSI 294   1,64   0,56%
  • IDX30 443   1,78   0,40%
  • IDXHIDIV20 507   -0,02   0,00%
  • IDX80 131   0,54   0,42%
  • IDXV30 136   -0,99   -0,72%
  • IDXQ30 140   0,26   0,19%

Mendorong Transisi Energi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan


Jumat, 14 November 2025 / 09:22 WIB
Mendorong Transisi Energi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
ILUSTRASI. ILUSTRASI OPINI - Akselerasi Energi Baru Terbarukan


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Komitmen transisi energi Indonesia masih diragukan karena berbagai faktor, seperti penurunan target energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan rencana PT PLN yang masih menambah kapasitas pembangkit fosil, terutama batubara dan gas.

Kebijakan yang dianggap tidak konsisten dengan komitmen iklim global dan rendahnya realisasi investasi energi terbarukan semakin memperkuat keraguann tersebut. Celakanya, RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang menjadi harapan untuk kejelasan arah dan fokus pengembangan energi bersih sebagai penopang transisi energi di Indonesia nasibnya masih terkatung-katung.

Sejatinya, RUU EBT masuk dalam program legislasi nasional jangka menengah 2025. Sebelumnya, pembahasan RUU inisiatif DPR ini sempat berjalan di Komisi VII pada 2024, namun belum mencapai tahap pengesahan. Alih pemerintah mendorong RUU EBT dituntaskan legislator, pemerintah lebih memfokuskan diri pada pencapaian target yang telah ditetapkan dalam APBN.

“RUU itu inisiatifnya DPR. Kalau mau gas, gas saja. Jangan bola pingpong. Saya fokus menjalankan perintah Presiden Prabowo dan mencapai KPI yang sudah ditetapkan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR pada Selasa (11/11/2025).

Respons tersebut menanggapi pernyataan Anggota Komisi XII DPR RI, Dipo Nusantara Pua Upa yang menyoroti perlunya harmonisasi regulasi sektor energi agar sejalan dengan agenda transisi energi dan target net zero emission pada 2060. Legislator menilai aturan setingkat undang-undang penting sebagai dasar kebijakan yang jelas dan terarah.

Dipo menyoal peran Biro Hukum Kementerian ESDM dalam menyiapkan kebijakan yang mendukung transformasi energi, termasuk penyusunan peta jalan harmonisasi regulasi untuk mempercepat investasi EBT. Yang terang, belum kuatnya regulasi terkait EBT ini secara tidak langsung berdampak pada target transisi energi Indonesia yang masih jauh.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2025, bauran energi baru terbarukan (EBT) baru mencapai sekitar 13,2 persen, belum dapat memenuhi target 23% pada periode yang sama. Kondisi ini mendesak pemerintah untuk mempercepat investasi dan reformasi kebijakan di sektor energi untuk dapat mengejar pemenuhan target bauran EBT sebesar 34,3% pada 2034.

Sementara itu, hasil kajian terbaru Perkumpulan Inisiatif menemukan rata-rata investasi pada subsektor EBTKE tahun 2020-2024 adalah sebesar US$ 1,57 miliar, dibawah  pada subsektor migas sebesar US$ 15,06 miliar dan minerba sebesar US$ 5,93 miliar. Tapi pendapatan negara dari pungutan produksi batubara masih rendah dari potensi pungutan produksi batubara. Dalam kurun 2020-2024 rerata pendapatan batubara sebesar Rp 86,26 triliun per tahun tahun, sementara potensi penerimaan negara dari batubara bisa mencapai Rp 353,7 triliun per tahun.

Sementara rerata belanja program energi terbarukan di Kementerian ESDM hanya sekitar 14,5% dari total belanja kementerian ini, masih di bawah belanja program untuk urusan migas dan batubara sebesar 32,61%. Di sisi lain, tercatat masih tingginya belanja subsidi fosil.

Selama periode 2019-2024, dari rerata pendapatan energi sebesar Rp 281,83 triliun per tahun, namun belanja subsidi fosil mencapai Rp 161,35 T per tahun atau 6.44% dari total belanja negara. "Sementara subsidi energi terbarukan (panas bumi) hanya sekitar 0,1% dari total belanja negara," ungkap Dadan Ramdan, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Inisiatif dalam pemaparan hasil kajian terhadap kebijakan fiskal/APBN 2020-2025 dan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam transisi energi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Menurut Dadan, pendapatan negara dari sektor energi didapatkan dari pendapatan pajak dan PNBP migas, PNBP minerba, PNBP panas bumi. Adapun rata-rata pendapatan negara dari sektor energi sebesar Rp 281,83 triliun atau 11,36% dari rata-rata total pendapatan negara. Yang mana, pendapatan energi terbesar bersumber dari migas dengan proporsi rata-rata 69,48% dari total pendapatan energi atau sebesar Rp. 191,18 triliun per tahun.

Proporsi pendapatan energi tertinggi sebesar 79,59% pada tahun 2020 dan terendah sebesar 61,80% pada tahun 2023. Proporsi pendapatan energi terbesar kedua bersumber dari minerba, yakni sebesar Rp 86,26 triliun atau sebesar 30,60% dari rata-rata total pendapatan energi. "Untuk pendapatan dari energi terbarukan hanya bersumber dari panas bumi sebesar 1,22% dari total pendapatan energi dan hanya sekitar 0,12% dari total pendapatan negara," bebernya.

Ahmad Gunawan, Peneliti Perkumpulan Inisiatif memberi catatan, pendapatan migas bersumber dari pajak dan PNBP sedangkan batubara (minerba) hanya bersumber dari PNBP. "Hal ini menunjukan perbedaan penguasaan negara atas migas dan batubara atau minerba," tandasnya.

Gunawan bilang, pendapatan pajak dari tambang minerba terutama batubara belum optimal. Salah satu penyebabnya, banyak perusahaan tambang batubara yang tidak melaporkan pajaknya. Di sisi lain, masih banyak beroperasi tambang ilegal yang otomatis negara tidak bisa memungut pajaknya. "Dalam kurun 2020-2024, rerata pendapatan batubara sebesar Rp 86,26 triliun per tahun tahun, sementara potensi penerimaan negara dari batubara bisa mencapai Rp 353,7 triliun per tahun jika merujuk hasil kajian Yayasan Sustain," ungkapnya.

Dari aspek kebijakan insentif dan disinsentif fiskal, Dadan memaparkan tidak ditemukan hubungan yang kuat antara energi fosil dengan energi terbarukan secara langsung dalam regulasi/kebijakan insentif dan disinsentif fiskal yang tersedia, Meskipun, ada indikasi dalam PMK No. 103/ 2023 dan UU No. 7/2021 terkait HPP.  

Memamng, ada indikasi insentif dan disinsentif fiskal untuk pengembangan energi terbarukan pada regulasi/kebijakan seperti pembebasan PPN dan PPh Badan untuk pelaku usaha energi terbarukan, pembebasan PPN untuk impor atau bea masuk barang berkaitan dengan panas bumi
 
Hanya saja, kata Dadan, belum ditemukan aturan yang secara tegas sebagai disinsentif pada energi fosil meskipun ada indikasi disinsentif pada sub sektor baubara terkait pajak karbon seperti tertuang di UU No.7/2021.  "Jadi, belum ada regulasi turunan atau peraturan pemerintah menyangkut pajak karbon, yang mencakup penambahan objek pajak karbon, subjek pajak karbon, alokasi penerapan pajak karbon untuk perubahan iklim, sampai tarif pajak karbon," jelasnya.  
 
Atas dasar itu, Dadan menilai, keberhasilan Indonesia dalam menjalankan komitmen transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan perlu diperkuat oleh kebijakan fiskal dan pembagian kewenangan antarpemerintahan yang adil dan jelas dalam pengelolan energi terbarukan.

Pada aspek kebijakan fiskal (APBN) dibutuhkan terobosan kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan yang mampu mengoptimalkan potensi pendapatan negara dari sumber energi fosil untuk pendanaan transisi energi tanpa mengandalkan uutang.

Pada aspek kewenangan, diperlukan kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang lebih adil dan jelas dalam pengelolaan energi terbarukan menjadi faktor penting dalam mendukung percepatan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan,

Dari kajian kebijakan fiskal, Perkumpulan Inisiatif menemukan fakta-fakta yang menunjukkan permasalahan dari sisi regulasi. Hal itu terlihat dari masih kuatnya kewenangan pusat, dan lemahnya kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan energi terbarukan termasuk penghapusan perizinan, tarif dan harga (UU 23/2014 pemerintah daerah dan UU 01/2020 Cipta kerja).

Kemudian, ketidakjelasan kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan energi terbarukan pada skala kecil dan menengah” dalam Perpres No. 11 Tahun 2023 tentang urusan pemerintah konkruen tambahan di bidang energi pada sub bidang energi terbarukan, serta  ketiadaan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan energi terbarukan (UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah)

Berangkat dari temuan kebijakan fiskal dan kewenangan, maka Perkumpulan Inisiatif merekomendasikan kebijakan fiskal dan kewenangan pertama, mendesak Kementerian Keuangan mengeluarkan regulasi/kebijakan fiskal untuk peningkatan prosentase pendapatan batubara pada nomenklatur pendapatan bagian pemerintah dari keuntungan bersih pemegang IUPK dan IUP minerba dari 4% menjadi 10%.

Kedua, mendesak Kementerian ESDM untuk mengeluarkan kebijakan earmaking pendapatan PNBP migas dan minerba sebesar Rp 232 triliun per tahun untuk pendanaan/belanja pengembangan energi terbarukan. Kementerian ESDM dapat memprioritaskan belanja pendataan  potensi sumber energi terbarukan sampai ke level desa dengan pelibatan aktif pemerintah daerah dan desa. Selain itu, earmaking ini juga dilakukan untuk belanja subsidi energi terbarukan dan pembiayaan investasi energi terbarukan berbasis sumber energi setempat
.
Ketiga, mendorong Kementrian ESDM dan Kemendagri untuk memperkuat dan memperjelas kewenangan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pengelolaan energi terbarukan. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan nomenklatur energi terbarukan dari sub urusan menjadi urusan. Ke depan, ada dua urusan energi, yaitu urusan energi fosil dan urusan energi terbarukan. Rekomendasi ini sejalan dengan momentum revisi UU Pemerintah Daerah.

Selanjutnya: Harga Emas Naik Jumat (14/11) Pagi, Bersiap Catat Kenaikan Mingguan Berkat Dolar Lesu

Menarik Dibaca: iPhone 17 Pro Usung Kamera Telefoto Zoom Optik 4x yang Nggak Ada di iPhone Air

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU

[X]
×