kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meneropong gurita bisnis konglomerasi China di tahun anjing tanah


Kamis, 15 Februari 2018 / 21:00 WIB
Meneropong gurita bisnis konglomerasi China di tahun anjing tanah
ILUSTRASI. Jack Ma


Reporter: Aulia Fitri Herdiana , Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini

Pada Januari 2016 lalu, Wanda menghabiskan US$ 3,5 miliar untuk membeli Legendary Entertainment, perusahaan di balik pembuatan film trilogi 'Batman' dan 'Jurassic World'.

Pada November, Wang juga membeli perusahaan pembuat penghargaan Golden Globes, yaitu Dick Clark Productions, dengan harga sekitar US$ 1 miliar.

Dan yang kelima, diduduki oleh, Wang We yang kekayaan mencapai US$ 22,3 miliar. Wang mendapatkan uang sebanyak itu setelah perusahaannya, SF Express, anak usaha SF Holdings, yang juga disebut Fed-Ex-nya China dijual ke publik.

Sekarang, jaringan SF sudah menjangkau 200 negara dengan lebih dari 15.000 kendaraan. Semua itu juga terlepas dari berkembangnya Alibaba, perusahaan marketplace terbesar di China.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enni Sri Hartati memandang, perkembangan ekonomi China yang terus meningkat dengan bermunculannya para konglomerat sangat berpengaruh terhadap Indonesia maupun dunia.

Namun, perkembangan industrialisasi kurang menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia tidak bisa mengikuti perkembangan hulu dari industrialisasi tersebut. Saat ini, kata Enny, pada perkembangan perekonomian China, Indonesia hanya menyumbang pada bagian ekspor komoditas saja.

Eddy Ganefo, Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) berpendapat, sebagai negara berkembang, Indonesia tidak boleh anti asing. Investasi dari China atau negeri manapun dinilai sah-sah saja selama tidak melanggar aturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk pengiriman tenaga kerja kasar maupun tenaga kerja ahli.

"Semuanya harus sesuai aturan yang ada, karena fungsi aturan juga untuk melindungi pelaku industri dalam negeri agar bisa tetap hidup," terang Eddy.

Sementara itu untuk industri properti di Indonesia, Eddy menilai peran China tidak terlalu signifikan pada tahun 2017. Sebenarnya, hal tersebut lebih dikarenakan kondisi daya beli masyarakat yang dinilai lesu dibandingkan tahun 2016.

Namun, Eddy juga menambahkan, meski daya beli konsumen menurun, Indonesia masih dipandang sebagai pasar potensial oleh internasional, termasuk China karena jumlah penduduk Indonesia yang besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×