kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meneropong gurita bisnis konglomerasi China di tahun anjing tanah


Kamis, 15 Februari 2018 / 21:00 WIB
Meneropong gurita bisnis konglomerasi China di tahun anjing tanah
ILUSTRASI. Jack Ma


Reporter: Aulia Fitri Herdiana , Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. China telah menjelma menjadi raksasa ekonomi Asia. Konglomerasi asal Negeri Gingseng tersebut bermunculan dengan bisnis yang menggurita ke berbagai negara. Menyambut Imlek, Kontan.co.id mengajak Anda meneropong orang tajir asal China yang sukses mengembangkan bisnis bernilai miliaran dollar Amerika Serikat (AS). 

Menurut Majalah Forbes, pemilik usaha pengembang properti asal China yakni Evergrande Group bernama Hui Ka Yan pada tahun 2017 dinobatkan menjadi orang terkaya nomor satu di Asia. Dia memiliki kekayaan bersih mencapai US$ 42,5 miliar. Hal itu setelah harga sahamnya meningkat 469%.

Pria kelahiran tahun 1958 ini pada 2017 telah menjual apartemen dan rumah di 546 proyek yang mencakup 209 kota, 30 provinsi, dan distrik lainnya di China. Evergrande juga memiliki kepentingan bisnis di bidang keuangan dan pariwisata.

Asal tahu saja, pada pertengahan 2017, China Evergrande Group memiliki 102.454 karyawan. Dalam enam bulan pertama 2017 saja, Evergrande memulai 74 proyek real estat baru di 59 kota. Penjualan kontrak tersebut mencapai 244,1 miliar yuan atau US$ 37 miliar.

Evergrande juga membeli saham Grup New Media yang terdaftar di Hong Kong pada 2015, dan telah mengubah nama perusahaan menjadi Evergrande Healthcare yang bergerak di bisnis layanan kesehatan. Mitra dari perusahaan tersebut adalah Harvard Brigham dan Women's Hospital.

Selain itu, China Evergrande Group juga mengakuisisi pemasok polysilicon Hong Kong Mascotte Holdings pada 2015, mengauisisi Tencent dan mengubah namanya menjadi Hengten Networks. Saat ini, Evergrande memiliki 54% penyedia layanan komunitas Internet, dan memegang 20% saham Tencent.

Selain real estat, Evergrande mungkin paling dikenal di China karena klub sepak bolanya. Evergrande membeli Guangzhou Football Club pada 2010 sebesar US$ 15 juta, dan mengganti namanya menjadi Guangzhou Evergrande FC.

Orang terkaya kedua di China, adalah Ma Hua Teng pendiri Tencent Holding. Pria yang kerap disapa Pony Ma ini punya kekayaan sebesar US$ 39 miliar. Seperti diketahui, perusahaan internet terbesar di China ini, ekspansinya sendiri sudah besar-besaran, termasuk ke Indonesia.

Tencent merupakan perusahan pemilik aplikasi WeChat. Kehadiran WeChat di Indonesia tidak lain dan tidak bukan merupakan kerja sama Tencent dengan perusahaan besutan Hary Tanoe, MNC. Tencent juga tercatat menggelontorkan dananya sebesar US$ 150 juta alias lebih dari Rp 2 triliun ke Go-Jek.

Sementara itu di dunia e-commerce Indonesia, yaitu situs yang bernama JD.ID. Sementara di China bernama JD.com Inc.

Lalu, orang terkaya nomer ketiga, adalah Jack Ma, Pendiri dan pemilik dari Alibaba yang kekayaannya tercatat mencapai US$ 38,6 miliar. Raksasa e-commerce asal China ini baru saja mengakuisisi 15% saham di Beijing Easyhome Furnishing seharga 5,45 miliar yuan atau sekitar US$ 867 juta, dan menginvestasikan US$ 486 juta ke sebuah perusahaan ritel big data dalam dua kesepakatan.

Investasi terbaru Alibaba datang tepat sebelum Tahun Baru Imlek, dan lebih dari satu minggu setelah menggelontorkan US$ 500 juta untuk mendukung dua startup paling diminati di India. Perusahaan China itu mengakuisisi sekitar sepertiga dari toko bahan makanan online Big Basket senilai US$ 300 juta untuk menjadi pemegang saham terbesarnya dan memperkuat persaingan dengan Amazon di India.

Alibaba juga menyuntikkan dana ke platform pengiriman makanan Zomato dengan investasi US$ 200 juta yang dilakukan melalui anak perusahaan Ant Financial.

Setelah Jack Ma, posisi ke empat diduduki oleh Wang Jianlin, yang merupakan pendiri perusahaan properti dan entertainment Dalian Wanda Group. Hartanya mencapai US$ 25,2 miliar.

Wanda Group telah membeli perusahaan pemilik jaringan bioskop AS, yaitu AMC seharga US$ 2,6 miliar di 2012 lalu. Kemudian Wanda juga mengakuisisi grup sinema yang berbasis di London, yaitu Odeon & UCI tahun ini seharga US$ 1,2 miliar.

Pada Januari 2016 lalu, Wanda menghabiskan US$ 3,5 miliar untuk membeli Legendary Entertainment, perusahaan di balik pembuatan film trilogi 'Batman' dan 'Jurassic World'.

Pada November, Wang juga membeli perusahaan pembuat penghargaan Golden Globes, yaitu Dick Clark Productions, dengan harga sekitar US$ 1 miliar.

Dan yang kelima, diduduki oleh, Wang We yang kekayaan mencapai US$ 22,3 miliar. Wang mendapatkan uang sebanyak itu setelah perusahaannya, SF Express, anak usaha SF Holdings, yang juga disebut Fed-Ex-nya China dijual ke publik.

Sekarang, jaringan SF sudah menjangkau 200 negara dengan lebih dari 15.000 kendaraan. Semua itu juga terlepas dari berkembangnya Alibaba, perusahaan marketplace terbesar di China.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enni Sri Hartati memandang, perkembangan ekonomi China yang terus meningkat dengan bermunculannya para konglomerat sangat berpengaruh terhadap Indonesia maupun dunia.

Namun, perkembangan industrialisasi kurang menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia tidak bisa mengikuti perkembangan hulu dari industrialisasi tersebut. Saat ini, kata Enny, pada perkembangan perekonomian China, Indonesia hanya menyumbang pada bagian ekspor komoditas saja.

Eddy Ganefo, Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) berpendapat, sebagai negara berkembang, Indonesia tidak boleh anti asing. Investasi dari China atau negeri manapun dinilai sah-sah saja selama tidak melanggar aturan yang ditetapkan pemerintah, termasuk pengiriman tenaga kerja kasar maupun tenaga kerja ahli.

"Semuanya harus sesuai aturan yang ada, karena fungsi aturan juga untuk melindungi pelaku industri dalam negeri agar bisa tetap hidup," terang Eddy.

Sementara itu untuk industri properti di Indonesia, Eddy menilai peran China tidak terlalu signifikan pada tahun 2017. Sebenarnya, hal tersebut lebih dikarenakan kondisi daya beli masyarakat yang dinilai lesu dibandingkan tahun 2016.

Namun, Eddy juga menambahkan, meski daya beli konsumen menurun, Indonesia masih dipandang sebagai pasar potensial oleh internasional, termasuk China karena jumlah penduduk Indonesia yang besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×