Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian BUMN merencanakan pemisahan aset (spin off) terhadap aset-aset pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tua milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Nantinya, aset PLTU tua yang di-spin-off akan dibentuk menjadi sebuah perusahaan tersendiri di bawah PLN.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, spin-off terhadap PLTU tua bakal membuat manajemen aset menjadi lebih efisien. “Kalau di-spin-off dia, itu akan lebih efisien, karena manajemennya akan lebih ringan dan kita perkirakan dia akan mampu 30 tahun lagi beroperasi dan masih menguntungkan,” ujar Arya kepada awak media dalam acara bincang virtual, Selasa (5/10).
Lebih lanjut, Arya menjelaskan bahwa rencana spin off ini bakal menyasar PLTU-PLTU tua yang memenuhi setidaknya 2 dari 3 kriteria. Ketiga kriteria tersebut yaitu berumur tua yang sudah kurang efisien, memiliki availability factor lebih rendah dari 80% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, serta memiliki capacity faktor lebih rendah dari 50% dalam 5 tahun ke depan.
“Jadi bukan PLTU yang bagus,” imbuh Arya.
Arya bilang, saat ini pihaknya tengah melakukan pendataan untuk memetakan PLTU-PLTU yang masuk ke dalam kriteria ini. Arya menegaskan, rencana spin-off PLTU tua ini tidak bertentangan dengan visi PLN untuk mempensiunkan PLTU dan mengejar visi net zero emission di tahun 2060.
Baca Juga: Pengamat: Rencana IPO holding BUMN geothermal sebaiknya dieksekusi tahun depan
Ia beralasan, perusahaan PLTU tua hasil spin-off ini bisa diantarkan untuk melantai di pasar modal. Dengan demikian, dananya bisa digunakan untuk membiayai pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).
Pengamat BUMN Toto Pranoto menilai,hubungan bisnis antara perusahaan hasil spin-off dengan PLN perlu diperjelas untuk menjaga keberlangsungan bisnis perusahaan tersebut. Di lain pihak, agenda Spin-off ini bisa saja mengikuti konsep sub holding yang diterapkan oleh Pertamina.
Dengan konsep ini, manajemen operasional PLTU tua PLN bisa menjadi lebih efisien, sebab PLN bisa fokus pada strategi pengembangan grup, sementara perusahaan hasil spin off bisa fokus menangani operasional PLTU tua dan meningkatkan skala usaha.
Selain itu, perusahaan hasil spin-off juga bisa memiliki fleksibilitas untuk mengembangkan usahanya.
“Kalau dia udah perusahaan hasil spin off dan berdiri sendiri kan dia memiliki kemampuan dan memiliki fleksibilitas untuk menjalin kerjasama dengan berbagai macam pihak yang kira-kira bisa memberikan manfaat bagi perusahaan itu, artinya fleksibilitas itulah yang bisa dimanfaatkan perusahaan hasil spin off ini supaya dia bisa men-utilize aset-asetnya supaya bisa tetap optimal,” kata Toto ketika dihubungi Kontan.co.id (6/10).
Menyoal opsi IPO, Toto menilai bahwa kesuksesan IPO perusahaan hasil spin-off, jika nantinya memang di-IPO-kan, akan sangat bergantung pada bagaimana kejelasan/kepastian prospek bisnis perusahaan hasil spin-off.
“Selama ada jaminan forecasting yang kuat bahwa perusahaan hasil spin off ini bisa memberikan return yang cukup sebenarnya itu masih oke, tapi kalau kepastian itu tidak jelas tergambarkan itu bisa menjadi tanda tanya buat investor,” ujar Toto.
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai, rencana spin-off PLTU tua berpotensi bertentangan dengan visi PLN untuk mempensiunkan PLTU dan mengejar visi net zero emission di tahun 2060. Menurut Bhima, PLTU-PLTU tua PLN sebaiknya justru dinonaktifkan atau dilikuidasi.
“Kalau tujuannya dengan aset PLTU lama kemudian bisa menarik dana investor tentu ini akan menimbulkan tanda tanya, apakah investor publik tertarik menanamkan uang di PLTU yang sunset?” kata Bhima kepada Kontan.co.id (6/10).
Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa PLN sebenarnya bisa mengejar opsi penghimpunan dana lain mulai dari penerbitan obligasi, mencari kredit sindikasi perbankan, ataupun mencari pendanan lewat Sovereign Wealth Fund (SWF). Catatan Bhima, jika rencana spin-off ini jadi direalisasi nanti, PLN perlu menjamin agar masa transisi spin off tidak mengganggu kesejahteraan pekerja.
“Yang berikutnya adalah meskipun pembangkitnya sudah relatif tua, tapi tentu perlu ada cara-cara untuk melakukan revitalisasi, ata upaya-upaya untuk melakukan perbaikan produktivitas, misalnya dengan penggantian alat yang baru, atau menggabungkan pembangkit yang sudah tua dengan teknologi2 yang baru sehingga produksi listriknya bisa meningkat sekaligus juga efisiensi bisa dilakukan,” tambah Bhima.
Sementara itu, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro melihat bahwa rencana spin-off PLTU tua PLN lebih bertujuan untuk penataan struktur organisasi dalam pengelolaan aset. Menurut Komaidi, agenda ini seharusnya tidak mengganggu visi net zero emission PLN.
“Saya kira silahkan saja dilakukan jika risikonya sudah diukur. Risiko di dalamnya termasuk risiko bisnis dan pasokan energinya,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id (7/10).
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno mengatakan pihaknya ingin mengetahui lebih lanjut lagi motivasi dari rencana spin-off PLTU tua PLN. Eddy menegaskan, pihaknya terbuka untuk mengkaji rencana ini secara bersama-sama dengan PLN dalam kesempatan-kesempatan rapat dengar pendapat yang ada.
“Kita harus mengkaji lebih dalam lagi, tujuan daripada spin off itu, apalagi menjadi anak perusahaan PLN, karena kalau dilihat secara konsolidasi laporan keuangan PLN, anak perusahaan itu tetap masuk ke dalam laporan keuangan PLN, kecuali kalau ada motif atau motivasi tertentu yang perlu kami mendapat kejelasannya lebih lanjut dari PLN,” kata Eddy.
Juru Bicara PLN, Intan Fahdiana menyampaikan, PLN siap mendukung dan menjalankan keputusan pemegang saham untuk meningkatkan kinerja perseroan. “PLN siap mendukung dan menjalankan keputusan pemegang saham yang tentu tujuannya untuk meningkatkan kinerja perseroan,” kata Intan saat dihubungi Kontan.co.id (6/10).
Selanjutnya: Tambahan kapasitas PLTP ditargetkan 3.355 MW hingga 2030
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News