Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) berencana mengurangi batas maksimal penyaluran solar subsidi per kendaraan setiap harinya untuk memastikan distribusi yang lebih tepat sasaran.
“Kami akan menerbitkan aturan batas maksimal volume penyaluran BBM (solar) agar tepat sasaran," kata Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Senin (10/2).
Saat ini, kendaraan roda empat mendapatkan alokasi maksimal 60 liter solar per hari, kendaraan roda enam hingga 80 liter, dan kendaraan dengan roda lebih dari enam bisa mengisi hingga 200 liter.
Namun, berdasarkan kajian bersama tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM), BPH Migas menilai bahwa batas kuota harian tersebut masih terlalu besar dan berpotensi disalahgunakan.
“Kami melihat terlalu banyak karena melebihi kapasitas tangki dan ada potensi untuk disalahgunakan. Berdasarkan kajian yang kami lakukan bersama dengan tim kajian UGM, ini akan kami perketat untuk volumenya,” tutur Erika.
Baca Juga: Mendongkrak Kualitas Udara dengan Perbaikan Tata Kelola Subsidi BBM
Untuk mengimplementasikan kebijakan ini, BPH Migas masih menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar hukum perubahan kuota harian solar subsidi.
Selain pembatasan kuota, pengawasan distribusi BBM juga akan diperketat dengan kombinasi pemantauan langsung di lapangan serta pemanfaatan teknologi digital. BPH Migas akan meminta peningkatan akses terhadap CCTV di SPBU secara real-time sebagai bagian dari langkah pengawasan.
Lebih lanjut, BPH Migas juga berencana meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengawasan distribusi BBM, salah satunya melalui penggunaan aplikasi eXcellence Sistem Terpadu Aplikasi Rekomendasi (XStar).
Di samping itu, masyarakat juga diharapkan berperan aktif dalam mengawasi distribusi BBM subsidi dengan memanfaatkan layanan pengaduan yang disediakan oleh BPH Migas.
Menanggapi rencana pembatasan ini, Ekonom Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti menyoroti pentingnya keberlanjutan akses BBM solar agar tidak terjadi disrupsi, terutama di luar Jawa.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019, konsumsi solar oleh rumah tangga berkisar antara 300 liter hingga 930 liter per bulan.
Dalam kondisi ekonomi yang melemah, konsumsi ini diperkirakan turun 30-40%, sehingga rata-rata konsumsi harian menjadi sekitar 10 liter per rumah tangga. Sebagian besar solar digunakan untuk aktivitas produktif, terutama oleh nelayan di wilayah seperti Banten.
Namun, Yayan menekankan di luar Jawa, kebutuhan solar lebih krusial dan sensitif karena digunakan tidak hanya untuk transportasi tetapi juga sebagai sumber energi utama, seperti untuk genset yang mendukung fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Baca Juga: Ada Potensi Disalahgunakan, BPH Migas Bakal Perketat Batas Volume Pembelian Solar
“Di wilayah seperti Kalimantan dan Papua, BBM solar sangat vital bagi kehidupan. Selain transportasi, solar digunakan untuk genset yang mendukung kebutuhan penting seperti lemari pendingin vaksin, alat medis, hingga operasi sederhana di puskesmas atau rumah sakit kelas D,” kata Yayan kepada Kontan, Minggu (16/2).
Menurut Yayan, permasalahan utama dalam distribusi BBM subsidi adalah ketidakseimbangan antara stok dan permintaan, yang menyebabkan kelangkaan dan membuka peluang penyelundupan.
Untuk itu, Yayan menekankan pentingnya sistem rantai pasok yang andal guna mendukung kebijakan swasembada pangan yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Kunci dari kebijakan ini adalah memastikan energi tetap terjangkau dan mudah diakses. Jangan sampai kebijakan baru justru memperburuk kelangkaan BBM yang sudah terjadi di beberapa daerah,” pungkasnya.
Selanjutnya: Harga Pertamax-Dexlite Naik Februari 2025, Khusus BBM Ini Malah Turun
Menarik Dibaca: Gratis Link Twibbon Hari Jadi Kota Solo ke-280 Pakai Hari Ini (17/2)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News