kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.464.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.704   22,00   0,13%
  • IDX 8.686   36,81   0,43%
  • KOMPAS100 1.194   2,51   0,21%
  • LQ45 854   1,47   0,17%
  • ISSI 310   2,31   0,75%
  • IDX30 438   -2,03   -0,46%
  • IDXHIDIV20 505   -3,69   -0,72%
  • IDX80 134   0,58   0,44%
  • IDXV30 139   0,23   0,16%
  • IDXQ30 139   -0,99   -0,71%

Keberatan Denda Rp 6,5 Miliar Per Hektare, Asosiasi Nikel Surati Presiden Prabowo


Selasa, 16 Desember 2025 / 22:00 WIB
Keberatan Denda Rp 6,5 Miliar Per Hektare, Asosiasi Nikel Surati Presiden Prabowo
ILUSTRASI. Pengusaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) melayangkan keberatan atas pengesahan denda administrasi dalam kegiatan usaha tambang


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) melayangkan keberatan atas pengesahan denda administrasi dalam kegiatan usaha tambang yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025.

Beleid itu mengatur tentang tarif denda administratif pelanggaran kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan untuk komoditas nikel, bauksit, timah dan batubara. Aturan ini ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 1 Desember 2025 lalu.

Dalam beleid tersebut, ketentuan denda untuk komoditas nikel paling besar dibanding komoditas mineral lainnya, yaitu sebesar Rp 6,5 miliar per hektare per tahun. Sementara, bauksit sebesar Rp 1,76 miliar per hektare; komoditas timah Rp 1,25 miliar per hektare; dan komoditas batubara sebesar Rp 354 juta per hektare.

Baca Juga: Penambang Nikel Protes Dikenai Denda Paling Besar di Sektor Minerba

Atas dasar ini, APNI dan FINI menyurati Presiden Prabowo Subianto bersama dengan kementerian terkait.

Diantaranya Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Keuangan. Juga dengan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang terdiri dari unsur TNI/Polri, Kejaksaan Agung, BPKP, BPN dan aparat kewilayahan.

"Sehubungan dengan implementasi kebijakan tersebut, khususnya terkait penetapan besaran denda administratif pertambangan nikel di kawasan hutan sebesar Rp 6,5 miliar per hektare, bersama ini kami menyampaikan beberapa masukan dan pertimbangan konstruktif dari pelaku industri nikel nasional," tulis APNI dan FINI dalam surat tersebut dikutip Selasa (16/12/2025).

Menurut APNI dan FINI, industri nikel nasional pada prinsipnya mendukung penuh perlindungan kawasan hutan serta kepatuhan terhadap ketentuan hukum. APNI dan FINI berkomitmen untuk terus mendorong praktik pertambangan yang bertanggung jawab, berkelanjutan, serta sejalan dengan agenda nasional lingkungan hidup dan transisi energi.

"Namun demikian, kami memandang bahwa peninjauan atas besaran denda administratif perlu dilakukan agar implementasi kebijakan tersebut tetap adil, proporsional, dan berkelanjutan secara ekonomi maupun fiskal," ungkap mereka dalam surat.

Berdasarkan ketentuan dalam Kepmen ESDM Nomor 391 Tahun 2025, besaran denda administratif untuk komoditas nikel tercatat jauh lebih tinggi dibandingkan komoditas pertambangan lainnya yang juga beroperasi di kawasan hutan.

Menurut APNI dan FINI, perbedaan tarif yang signifikan ini berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan perlakuan antar sektor pertambangan. Kemudian, distorsi struktur biaya industri nikel. Serta, persepsi kebijakan yang tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip equal treatment dan keadilan regulasi.

Baca Juga: ESDM Ketok Aturan Denda Tambang Hutan: Nikel Tertinggi

APNI dan FINI menyebut, saat ini industri nikel nasional menghadapi berbagai tantangan global. Antara lain tekanan harga komoditas internasional, margin usaha yang semakin terbatas. Plus, beban fiskal berlapis, meliputi royalti, pajak, PNBP, kewajiban reklamasi dan pascatambang, serta pemenuhan standar ESG.

Nah, menurut mereka, penerapan denda flat nasional sebesar Rp 6,5 miliar per hektare berpotensi menekan arus kas perusahaan secara signifikan. Lalu, berpotensi menunda investasi dan kegiatan produksi. Serta, mengurangi kemampuan industri dalam memberikan kontribusi berkelanjutan terhadap penerimaan negara. 

APNI dan FINI mencermati bahwa kebijakan denda dengan tarif yang sangat tinggi berisiko menghasilkan penerimaan negara yang bersifat one-off. Namun pada saat yang sama dapat menurunkan penerimaan royalti secara berkelanjutan, pajak badan dan PPh tenaga kerja, dan devisa ekspor serta kontribusi hilirisasi industri nikel.

"Dalam jangka menengah hingga panjang, kondisi tersebut berpotensi mengurangi total penerimaan negara secara agregat," tulis APNI dan FINI.

Usulan Pengusaha

APNI dan FINI mengusulkan beberapa alternatif kebijakan.  Yakni, penyesuaian tarif denda berbasis formula proporsional, dengan mempertimbangkan luasan kawasan, tingkat dan jenis kerusakan, durasi kegiatan, serta nilai ekonomi dan karakteristik komoditas.

Menurut kedua asosiasi, harmonisasi tarif denda antar komoditas pertambangan guna menjamin prinsip keadilan dan konsistensi kebijakan.

Skema alternatif yang lebih produktif, sebagian denda dapat dikonversi menjadi  environmental deposit fund, dana rehabilitasi dan pemulihan hutan, dana eksplorasi dan pemetaan geologi nasional, yang dikelola oleh negara dan memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan penerimaan negara.

Baca Juga: IWIP Bantah Dugaan Pengiriman Nikel Ilegal di Bandara Weda Bay

Selanjutnya: Wall Street Dibuka Melemah, Investor Menimbang Data Pekerjaan AS

Menarik Dibaca: Jadwal Puskas Award 2025: Rizky Ridho Menang? Klik Link Live Streaming di Sini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×