Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi minyak kelapa sawit mentah atau yang lebih dikenal dengan istilah Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri pada pemerintahan Prabowo-Gibran selain difokuskan pada konsumsi untuk pangan juga akan dimanfaatkan untuk mandatori penggunaan bahan bakar campuran biodiesel berbasis minyak sawit.
Yang terbaru, Indonesia akan segera menerapkan biodiesel berbasis minyak sawit 40% dengan minyak solar atau B40 mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Adapun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini memastikan stok CPO untuk B40 bahkan sampai dengan program B60 akan aman.
"Kita akan banyak (CPO) dong. Kita kan ekspor. Sekarang kan kita B40, sekarang kita akan dorong ke B50 sampai B60. Kalau ditanya itu cukup atau tidak, B35 sampai B40 itu kan kita habiskan kurang lebih sekitar 14 juta kiloliter. Nah, sementara ekspor kita masih banyak. Nah, kalau ditanya kapasitas CPO kita cukup atau tidak, cukup. Pasti cukup," ungkap Bahlil di Kementerian ESDM, Senin (21/10).
Baca Juga: Mentan Targetkan Implementasi B50 di Tahun 2026
Terkait kesiapan produsen untuk memasok CPO pada B40 hingga B60 mendatang, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengatakan saat ini produksi sawit Indonesia mengalami stagnansi jika dibandingkan dengan produksi tahun lalu.
Memang, jika melihat produksi CPO Januari-Agustus 2024 secara year on year (YoY) dibandingkan tahun 2023, produksi tahun 2024 lebih rendah 4,86% dari 36,27 juta ton menjadi 34,52 juta ton.
Meski begitu Eddy mengatakan kebutuhan untuk B40 tahun depan masih dapat terpenuhi dengan kebutuhan CPO sekitar 14,3 juta ton. Meskipun harus mengorbankan kuota ekspor sebesar 2 juta ton.
Adapun terkait B50, Eddy mengatakan dengan produksi tahun ini yang diprediksi stagnan, maka besarnya kuota ekspor juga akan berkurang sebesar 6 juta ton.
"Yang B50 saja, kalau kondisi seperti ini atau stagnan maka ekspor akan turun sebesar 6 juta ton CPO. Kalau dipaksa lagi B60 bisa menurun (ekspor) sekitar 10 juta," ungkap Eddy saat ditemui Kontan di Jakarta, Selasa (22/10).
Menurut Eddy, jika melihat prediksi produksi CPO tahun 2024 yang mencapai 59,27 juta ton sebenarnya industri sawit siap untuk memfasilitasi kebutuhan biodiesel B40 sampai B60.
Namun, kapasitas ekspor yang akan dialihkan untuk biodiesel dinilai dalam jangka panjang akan buruk pada ekosistem sawit di dalam negeri.
"Ini yang seharusnya dilihat terkait produksi kita, kalau dibilang mampu ya mampu (untuk biodiesel) dari total produksi, tapi ekspor harus dikorbankan," ungkapnya.
Jika kapasitas ekspor menurun, maka pungutan ekspor yang saat ini digunakan untuk mensubsidi biaya biodiesel serta Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga akan menurun sehingga berakibat pada menurunnya kapasitas produksi hingga terhambatnya program bauran tingkat selanjutnya, seperti B50 hingga B60.
"Padahal kita memerlukan peningkatan produktifitas, kalau dikorbankan, dana PSR dari mana? Kan dari pungutan ekspor. Siapa yang akan membiayai B50 tersebut kalo ekspornya kurang?" tanyanya.
Eddy mencontohkan, saat ini program B35 yang sedang bergulir pun didanai dari pungutan ekspor.
"Jadi nanti akan bergulir seperti ayam sama telur, yang mana dulu. Nah ini yang berbahaya," ungkapnya.
Adapun, jika kapasitas ekspor sawit Indonesia terus dipangkas maka hal ini akan berpengaruh pada harga minyak nabati dunia yang lain. Dengan stok yang langka di pasar global, harga CPO Indonesia akan semakin mahal hingga menyebabkan kenaikan harga dari produk-produk turunan CPO lainnya.
"Apabila suplay kita berkurang ke dunia, maka harga minyak nabati dunia juga akan berpengaruh, berdampak inflasi juga ke kita dengan mahalnya produk-produk kita yang dari sawit," jelasnya.
Jika merujuk data Gapki, kebutuhan CPO untuk mandatori biodiesel akan semakin meningkat sepanjang bertambahnya persentase CPO dalam bahan bakar, dengan besar kebutuhan sebagai berikut:
1. B35 membutuhkan 12 juta ton CPO
2. B40 membutuhkan 13-14 juta ton CPO
3. B50 membutuhkan 17,5 juta ton CPO
4. B60 membutuhkan 22-24 juta ton CPO
Untuk memenuhi kebutuhan mandatori dan tetap menjaga ekosistem pasar sawit di dalam serta luar negeri, menurut Eddy satu-satunya jalan yang harus segera dilakukan pemerintah adalah mengejar target PSR.
"Tapi saya meyakini pemerintah baru akan mengejar PSR, dan pasti akan dilakukan. Kondisi sekarang adalah kondisi yang stagnan, kalau mau jujur produktifitas turun, karena kita terlambat di peremajaan sawit," tutupnya.
Baca Juga: Menteri ESDM Pastikan Stok CPO Aman untuk Program B40 sampai B60
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News