kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik Masalah Oversupply Listrik dari PLN


Rabu, 08 Februari 2023 / 21:29 WIB
Menilik Masalah Oversupply Listrik dari PLN
ILUSTRASI. PLN dibayangi oversupply listrik


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PLN (Persero) mencatatkan penjualan sebanyak 270,82 terawatt hour (TWh) di 2022. Penjualan tersebut didapat dari sebanyak total 85,28 juta pelanggan.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, jumlah tersebut meningkat 15,75 TWh atau 6,17% dibanding tahun sebelumnya. Di tahun 2021, realisasi penjualan setrum PLN hanya mencapai 255,07 TWh.

Capaian tersebut, kata Darmawan, merupakan buah dari strategi ekstensifikasi dan intensifikasi yang dilakukan oleh perseroan.

“Adapun strategi intensifikasi meliputi program pemasaran tambah daya bagi pelanggan eksisting. Sementara strategi ekstensifikasi meliputi penciptaan demand listrik baru, yaitu program akuisisi captive power dan electrifying agriculture,” terang Darmawan, Rabu (8/2).

Berdasarkan catatan PLN, seluruh wilayah mengalami peningkatan dalam capaian penjualan tahun 2022. Wilayah Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara (Sulmapana) menjadi paling pesat dengan pertumbuhan 9,34% atau 20,34 TWh.

Baca Juga: Skema Power Wheeling Berpotensi Masuk RUU EBET, Begini Respon PLN

Sementara itu, wilayah Sumatra dan Kalimantan tumbuh sebesar 6,43% atau 56,05 TWh, sedangkan regional Jawa, Madura dan Bali sebesar 5,78% atau 194,42 TWh.

Berdasarkan segmentasi sektoralnya, penjualan tenaga listrik pada tarif rumah tangga menjadi penyumbang terbesar dalam realisasi penjualan tahun 2022. Porsi kontribusinya mencapai 42,53%.

Sementara itu, tarif industri menyumbang 32,35%, bisnis 17,49%, tarif sosial 3,69%, tarif publik 3,15%, dan layanan multiguna, traksi serta curah menyumbang 0,79%.

Persoalan Oversupply Listrik Masih Mengintai

Terlepas dari kenaikan serapan listrik yang berhasil dicapai, PLN masih dibayangi persoalan kelebihan pasokan alias oversupply listrik. Padahal,  PLN terikat kontrak Take or Pay (TOP) untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit.

Pekan lalu (31/1), Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Dadan Kusdiana menjelaskan, suplai listrik berlebih yang mencapai 40% itu setara 6 GW.

"Bervariasi untuk setiap wilayahnya dan setiap bulan berubah tergantung pembangkit yang masuk. Tapi saat ini di angka 40%, itu 6 GW," kata Dadan ditemui di Gedung Direktorat Ketenagalistrikan, Selasa (31/1).

Persoalan oversupply juga menjadi salah satu bahasan di Senayan Rabu (8/2) ini. Perhatian ini misalnya diutarakan oleh  Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Maman Abdurrahman.

Ia mempertanyakan penyebab yang melatarbelakangi persoalan oversupply PLN. Kondisi tersebut menurutnya patut didalami, sebab ia mengaku masih mendapat laporan adanya kekurangan pasokan listrik di lapangan.

“Apa sih yang menyebabkan PLN bisa oversupply? Di sisi lain kita banyak sekali mendapat permohonan-permohonan dari beberapa pelaku industri, dari masyarakat segala macam terkait kekurangan pasokan listrik. Nah ini loh, ini yang kadang-kadang kan kontradiktif, artinya ada bottleneck. Bottleneck itu yang saya pikir harus diselesaikan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara  Komisi VII DPR RI dengan Direktur Utama PLN, Rabu (8/2).

Baca Juga: Investasi Sektor Ketenagalistrikan Turun Tahun Lalu

Menurut Darmawan, oversupply listrik terjadi lantaran asumsi pertumbuhan konsumsi listrik yang meleset. Ia berujar, pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan beberapa waktu lalu didasarkan pada asumsi pertumbuhan listrik yang dicanangkan tahun 2015 silam, yakni sebesar 7%-8% di pulau Jawa.

Hitungan tersebut didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 6,1%. Catatan saja, berdasarkan data historis PLN, pertumbuhan permintaan listrik biasanya setara 1,3 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi.

Dengan hitungan asumsi tersebut, permintaan listrik di tahun 2023 diperkirakan mencapai 380 TWh, jauh melampaui realisasi tahun 2022 yang berjumlah 270,82.

Sayangnya, asumsi tersebut dalam perkembangannya meleset di beberapa tahun terakhir.

“Selama 5 tahun kemarin di Jawa korelasinya turun dari 1,3 menjadi 0,87. Jadi kalau 1% pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan demand-nya hanya 0,86%, kemudian pertumbuhan ekonomi (juga) terkoreksi dari 6,1% rata-rata menjadi 5,1%,” terang Darmo.

“Untuk itu selama 5 tahun, pertumbuhan demand listrik yang diproyeksikan sekitar 8% di Jawa tumbuhnya rata-rata hanya 4,6% selama 5 tahun 2015-2019. Lalu di tahun 2020 terkena Covid 19, jadi pertumbuhan selama  tahun tidak sesuai dengan harapan,” imbuhnya lagi.

Meski begitu, Darmo menekankan bahwa pertumbuhan listrik sudah mulai pulih, dibuktikan dengan pertumbuhan permintaan listrik yang mencapai 6,17% di tahun 2022. Hanya saja, dengan tingkat pertumbuhan tersebut, ia memperkirakan bahwa permintaan listrik tahun ini belum sampai ke level 380 TWh sebagaimana diproyeksikan tahun 2015 silam.

Kendati demikian, ia memastikan bahwa PLN terus berupaya memitigasi persoalan dengan melakukan renegosiasi untuk mengurangi kontrak-kontrak pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Berdasarkan klaim PLN, upaya ini telah membuahkan hasil.

“Sebagian bisa kita batalkan, kita kurangi, kemudian kita undur, kontraknya kita kurangi. Ini yang kita sebut sebagai renegosiasi di mana kami berhasil mengurangi beban take or pay Rp 40 sekian triliun,” kata Darmo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×